Wayang dan Psikologi
Wayang dan Psikologi

Wayang, Manusia dan Kehidupan

Wayang adalah cerita.  Sebagaimana layaknya cerita, dalam cerita wayang selalu ada tokoh dan  ada lakon. Orang suka cerita wayang  dengan berbagai alasan. Wayang jadi hiburan sekaligus kesempatan seseorang untuk sejenak “exit’ dari kenyataan.  Wayang dan Psikologi. Wayang, Manusia dan Kehidupan..

Wayang dan Psikologi : Wayang adalah cerita kehidupan.

Cerita yang inspiratif . Seseorang dapat menyamakan sendiri – atau berusaha mencari kesamaan- kisah hidupnya dengan lakon yang dipentaskan. Setiap lakon selalu tematis.

  • Ada tema derita ketika Pendawa diasingkan dua belas tahun di hutan Dandaka.
  • Pencarian makna hidup Werkudara dalam Bima Ruci.
  • Konflik batin dalam dialog Bhagavad Gita  antara Arjuna yang bimbang dengan  Kresna tentang takdir Bharatayuda.
  • Kesetiaan Karna dan Kumbakarna pada negara yang melebihi pada keluarga maupun ‘ kebenaran ’.
  • Tema pengorbanan Gatotkaca untuk menerima kematian lewat panah Konta Adipati Karna,  demi kemenangan Arjuna .
  • Tema bahwa setiap perjalanan hidup akan selalu ada halangan seperti ksatria yang dihadang buta- cakil.

Ketakutan dan keberanian, kebaikan dan kejahatan hadir dalam tema setiap lakon. Setiap orang juga punya tema hidup.

Lakon kemudian jadi proyeksi tema hidup seseorang. Proyeksi ibarat sinar proyektor yang dipantulkan ke layar film. Dengan proyeksi seseorang seolah-olah menyaksikan dirinya sendiri dalam lakon tersebut.  Lakon menjelma menjadi cermin kehidupan seseorang.

“Wayang is life itself.”

Proyeksi barulah  salah satu mekanisme psikologis. Mekanisme alam bawah sadar ketika seseorang tenggelam menikmati pertunjukkan wayang. Ada lagi mekanisme lain: mekanisme identifikasi.

Wayang punya ratusan tokoh – inilah salah satu keistimewaan  wayang. Setiap tokoh itu punya karakter. Seperti juga manusia yang tak pernah sama, tokoh- tokoh wayang punya sifat, tabiat, bahkan takdirnya sendiri-sendiri . Sebagian tokoh punya karakter yang mempersona. Karakter ideal.

Orang Jawa, pencinta wayang, umumnya punya  salah satu tokoh identifikasi. Yang populer dan umum dipilih adalah:

  • Kresna, konsultan dan ahli strategi.
  • Werkudara yang kuat.
  • Arjuna lelanaging jagad – lelaki sejati.
  • Semar sang pengemong.
  • Narada the messenger.
  • Puntadewa bersih dan jujur.
  • Petruk yang bebas sesuka-sukanya.
  • Wisanggeni yang blak-blakan dan tak kenal takut.

Tentu saja akan selalu ada kemungkinan terjadi distorsi.

Seseorang yang suka tampil malah  memilih Kresna yang sejatinya bak sutradara di belakang layar. Seorang yang lemah dan penakut justru memilih Werkudara. Itu biasa. Hakekat identifikasi adalah mekanisme pertahanan diri ,defense mechanism. Ini berguna bagai selimut untuk merasa aman dan nyaman. Karena semua orang suka disebut baik maka tokoh antagonis jarang diidentifikasi. Sulit dan mustahil mencari orang Jawa yang mau mengidentifikasi dirinya seperti Sengkuni, Burisrawa atau Dursasana.

Wayang adalah hiburan.

Punakawan adalah bintangnya. Adegan gara-gara ketika punakawan keluar adalah adegan yang ditunggu-tunggu penonton meski itu terjadinya  sekitar jam 3 pagi.

Manusia adalah homo ludens, mahkluk bermain. Punakawan suka bermain dan melucu.  Akan tetapi dalam kelucuan , dan absurditas adegan punakawan terselip kritik sosial atau pesan moral . Bagi sang dalang, adegan punakawan inilah sarana  untuk menyampaikan nilai-nilai yang ia mau teruskan kepada penontonnya yang dikemas dalam humor. Ini dimungkinkan oleh posisi punakawan yang “bebas”.

Seandainya Petruk, Gareng atau Bagong berkata arif maka mereka disebut hebat. Sebaliknya bila ucapannya kurang pantas, kritiknya terlalu keras, toleransi  tetap diberikan karena mereka memang diposisikan sebagai wakil kaum polos, tak banyak mengerti  dan lugu. Dulu, para penguasa memanfaatkan punakawan untuk menyampaikan pesan-pesan politik mereka. Kepiawaian dalang ditantang untuk menyampaikan nya dengan sindiran halus dan tidak vulgar.

Jadi ada mekanisme introyeksi juga dalam wayang.

Introyeksi berupa proses penanaman nilai . Penonton menyerap nilai-nilai dari pertunjukan wayang  untuk kemudian dilebur ke dalam sistem nilai pribadinya. Ada banyak nilai yang diintroyeksikan oleh lakon wayang seperti nilai-nilai kesatriaan, patriotisme, martabat dan kehormatan, kesediaan berkorban. Nilai-nilai yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai perilaku normatif.

Seorang pemimpin pantang menarik ucapannya. Jiwa ksatria tidak mengenal kata mundur bila ia benar. Akan tetapi selalu siap mengaku salah ketika khilaf. Kehalusan berbahasa dan nada suara yang pelan adalah ciri satria terhormat. Sebaliknya suara lantang dan tutur kata yang kasar digolongkan sebagai sifat denawa atau raksasa dari negeri seberang alias tidak n’jawani.

Cerita menjadi ‘sejarah’.

Meski wayang adalah  cerita, ia  sudah menyatu dengan kehidupan penggemarnya. Bahkan batas antara cerita dan kenyataan seringkali menjadi tipis. Cerita menjadi ‘sejarah’. Bahkan ada yang menempatkan wayang sebagai pedoman hidup. Wayang jadi rujukan kehidupan. Ada mekanisme rasionalisasi. Orang dapat merasionalkan tindakannya dengan merujuk kepada wayang. Menarik bila kemudian dijumpai bahwa rujukan itu meningkatkan toleransi seseorang kepada sebuah tindakan yang meleset.

Dalam wayang, khususnya Mahabhrata, tidak ada tokoh yang sempurna. Bahkan para dewa sekalipun. Mahabhrata tidak hitam putih seperti Ramayana. Dalam Ramayana amat jelas siapa jahat ,siapa baik- walaupun versi yang berbeda seratus delapanpuluh derajat dapat dijumpai di Srilangka. Di sana Rahwana konon adalah pahlawan.

Dalam epos Mahabhrata ,baik dan jahat dapat bercampur. Yudistira atau Puntadewa yang hanya berdusta satu kali dalam kasus Aswatama nyatanya suka berjudi. Demikian juga Werkudara, Arjuna dan Nakula Sadewa . Masing-masing punya kelemahan yang dibeberkan jelas di akhir kehidupan mereka di gunung Mahameru.  Tidak semua Pendawa selalu sempurna  dan tidak semua di pihak Kurawa selalu jahat.  Bisma yang membela Kurawa justru dihormati dalam kematiannya.

Suatu kenyataan menarik bahwa Mahabharata  yang posisinya samar-samar tentang kebaikan lebih disukai di masyarakat Legenda Tanah Jawa daripada Ramayana. Apakah ini karena orang Jawa lebih toleran terhadap ketidak sempurnaan?. Tampaknya begitu. Dalam alam pikiran orang Jawa, kesempurnaan hanya milik Gusti Pangeran. Seperti pada keris yang selalu berluk ganjil karena genap adalah kesempurnaan dan itu bukan milik manusia.

*********

Konflik adalah bagian integral dari cerita wayang.

Selalu ada pertentangan kejahatan dan kebaikan. Sumber persoalan adalah nafsu. Ketika seseorang dikuasai nafsu maka lenyaplah akal budi . Lahirlah niat dan perilaku jahat. Kejahatan biasanya diwakilkan kepada figur  raksasa meski tak selamanya demikian.

Seorang ksatria bahkan dewa-dewa pun dapat dikalahkan oleh nafsu.

  • Batara Guru hilang kebijaksanaannya ketika memaksa Dewi Uma bercinta di atas punggung lembu Andini.
  • Begawan Wisrawa tak kuasa menahan hasrat bercinta dengan Dewi Sukesih, calon menantunya sendiri ,  justru ketika sedang mengajarkan sastra jendra, ilmu kemuliaan.
  • Werkudara tidak cukup  hanya mencabut nyawa Dursasana tetapi juga mengambil jantungnya untuk diserahkan dan dimakan oleh Drupadi guna menuntaskan sumpahnya. Tak puas sampai itu, Drupadi pun mencuci rambutnya dengan darah Dursasana.

Ada seks dan agresivitas dalam wayang.

Dorongan seks dan agresi adalah dua naluri dasar manusia.

Dalam bahasa Psikoanalisa  Freudian  disebut sebagai Id.  Sedikit catatan, psikoanalisa adalah sebuah teori psikologi klasik, Teori yang paling popular sekaligus paling banyak menerima kritik.  Akan tetapi psikoanalisa itu  ibarat kucing hitam yang diusir keluar pintu dan masuk kembali dari jendela.  Psikoanalisa tetap istimewa. Jadi biarlah kita beri kesempatan padanya untuk membahas wayang; fenomena yang sangat istimewa ini.

Kembali pada Id . Id adalah salah satu struktur kepribadian.  Sifat Id adalah buta moral,  buta realitas , tidak perduli norma atau nilai. Keinginannya hanya menyalurkan atau melayani hasrat primitif itu, seksualitas atau agresivitas., secara segera.

Lawan nya adalah super-ego.  Sering diistilahkan sebagai hati nurani atau suara hati. Super ego berisi segala kebaikan, segala larangan berbuat jahat.  Tanpa toleransi. Super ego ini pun buta. Buta terhadap realitas. Sifatnya dogmatis. Bila ia dituruti secara total maka seseorang akan menjadi sangat asketis,steril, dogmatis dan menolak  segala nafsu-duniawi . Sesuatu yang sulit dilakukan manusia . . Perjalanan hidup manusia adalah pertentangan – dalam skala ekstrim- yang tak habis-habisnya antara id dan super ego .  Konflik abadi.

Disinilah pentingnya kehadiran struktur kepribadian lainnya yaitu Ego. Ego adalah badan eksekutif, pengatur dan penyeimbang antara id dan super ego. Kelebihan ego adalah ia memiliki kemampuan reality testing. Ia sadar realitas.  Akan tetapi tidak selamanya ego selalu mampu mengendalikan ketegangan. Suatu saat ia bisa dikuasai id atau sebaliknya, super-ego.

Wisrawa, Guru, Werkudara, Drupadi  biasa diposisikan sebagai tokoh baik. Akan tetapi mengapa mereka dapat berbuat menyimpang jauh?. Karena  Ego tidak mampu bertahan  membendung Id. Sekali waktu, dengan berbagai alasan, Id dapat menyelinap,  muncul dan berkuasa penuh untuk mengendalikan perilaku seseorang.

Memang begitulah kehidupan manusia yang tidak pernah sempurna. Hidup adalah pertarungan dalam diri antara menyeimbangkan nafsu dan dogma. Wayang adalah cerita kehidupan. Wayang adalah tempat manusia bercermin tentang dirinya.

* Artikel ini pernah dimuat di Suara Pembaruan  28 Maret 2014 dan Buku Wayang for the World oleh Hardi.

 

ditulis oleh: Buntje Harbunangin untuk HIMPSI Jaya. Artikel tentang kegiatan Kosmologi wayang dalam perpektif psikologi.

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.