“EMPATI Lebih Dipengaruhi Proses Berpikir Daripada Sensasi Rasa”. EMPATI Proses Kognitif Daripada Sensasi Perasaan.
Penelitian ini dipublikasikan pada 14 Juni 2016 di University of Colorado, Boulder.
Ringkasan: EMPATI Proses Kognitif Daripada Sensasi Perasaan
Menurut studi terbaru yang dipimpin oleh peneliti dari University of Colorado Boulder ini, kemampuan seseorang untuk memahami perasaan sakit dan berempati terhadap orang lain didasarkan pada proses saraf kognitif daripada saraf sensorik.
Temuan mereka menunjukkan bahwa tindakan seseorang mengamati nyeri yang diderita orang lain (empati terhadap orang lain) munculnya tidak melibatkan sirkuit saraf yang sama seperti ketika seseorang tersebut mengalami nyeri pada tubuh sendiri. Hal ini berarti dua situasi tersebut (merasakan nyeri di tubuh sendiri dan turut merasakan nyeri yang dirasakan orang lain), adalah interaksi yang berbeda yang terjadi di dalam otak.
“Penelitian menunjukkan bahwa empati adalah suatu proses kompromi yang membutuhkan tindakan sadar mengambil perspektif orang lain, bukan proses otomatis ataupun naluriah,” kata Tor Wager, penulis senior studi tersebut. Tor Wager adalah direktur Cognitive and Affective Neuroscience Laboratory and Professor of Psychology and Neuroscience at CU-Boulder.
Hasil rinci penelitian ini telah dipublikasikan secara online dalam jurnal eLife. EMPATI Proses Kognitif Daripada Sensasi Perasaan
Empati adalah landasan utama perilaku sosial manusia, tetapi interaksi saraf kompleks yang mendasari perilaku ini belum sepenuhnya dipahami. Hipotesis mula-mula (berdasarkan hasil studi terdahulu) menengarai bahwa daerah otak yang sama yang menyebabkan manusia merasakan sakit di tubuh mereka sendiri kemungkinan aktif juga ketika mengamati penderitaan orang lain.
Untuk menguji ide ini, dalam satu sesi eksperimen para peneliti membandingkan pola aktivitas otak relawan, saat mereka mengalami nyeri yang sedang berlangsung (misalnya rasa panas, syok, atau tekanan); dan dalam sesi lain pola aktivitas otak diteliti saat relawan yang sama tersebut diberikan gambar tangan atau kaki orang lain yang sedang terluka. Ketika relawan menonton gambar, mereka diminta untuk membayangkan bahwa cedera tersebut terjadi pada tubuh mereka sendiri.
Para peneliti menemukan bahwa pola otak ketika para relawan mengamati penderitaan (rasa sakit) orang lain tidak tumpang tindih dengan pola otak ketika para relawan mengalami sendiri rasa sakit itu di tubuh mereka. Sebaliknya, sambil mengamati rasa sakit, para relawan menunjukkan pola otak yang konsisten dengan proses mental ketika manusia melibatkan kemampuan membayangkan pikiran dan niat orang lain.
Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan proses yang terjadi di dalam otak manusia, bahwa pengalaman mengamati rasa sakit orang lain secara neurologis berbeda dengan ketika manusia mengalami sakit di tubuhnya sendiri.
“Kebanyakan penelitian sebelumnya hanya terfokus pada titik-titik kesamaan antara dua pengalaman yang berbeda ini dalam beberapa daerah otak yang terisolasi, dan mengabaikan perbedaan-perbedaannya. Studi baru kami ini menggunakan metode analisis yang lebih rinci,” kata Anjali Krishnan, penulis utama, dan post-doctoral research associate in the Institute of Cognitive Science at CU-Boulder pada saat penelitian ini dilakukan. Saat ini Anjali Krishnan adalah Asisten Profesor di Brooklyn College of the City University of New York.
Metode analisis ini mengidentifikasi pola prediksi-empati di otak hingga diperoleh skor rasa nyeri, membuka kemungkinan untuk mengukur aktivitas di dalam sistem otak yang berkontribusi terhadap empati.
Hasilnya diharapkan membuka jalan baru bagi penelitian lanjutan tentang daerah otak tertentu yang terlibat untuk memicu dan menguatkan empati, hingga dapat membantu manusia berhubungan dengan orang lain yang sedang sakit dan menderita.
Studi lanjutan juga dapat mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang mengadopsi perspektif orang lain dan kemungkinannya untuk meningkatkan kemampuan berempati.
University of Colorado at Boulder.
“Empathy for others’ pain rooted in cognition rather than sensation.” ScienceDaily. ScienceDaily, 14 June 2016.