Tinjauan Psikologi Transpersonal

Oleh: Buntje Harbunangin

Psikologi transpersonal salah satu mazhab dalam psikologi. Berbeda dengan psikologi umum,  ia bukan sekadar memahami relasi seseorang dengan dirinya dan dengan orang lain.  Ia tidak hanya disibukkan dengan soal kognisi, afeksi ataupun konasi. Namun, psikologi transpersonal juga memasukkan aspek spiritual dan transendental dalam memahami kepribadian manusia.

Konsep seperti kesadaran universal, pengalaman spiritual, transformasi menjadi pribadi yang utuh merupakan fokus psikologi transpersonal. Konsep keutuhan tersebut yang akan jadi perhatian utama dalam tulisan singkat ini.

Dalam psikologi transpersonal, orang dikatakan sehat bila ia memiliki kepribadian yang utuh.

Mengapa? Karena bila ditilik asal kata dari “sehat” dalam kosakata Inggris kuno artinya adalah “wholeness” atau “utuh”.  Jiwa atau kepribadian sehat adalah yang utuh. Pertanyaan berikutnya, faktor apa yang dapat mewujudkan  “keutuhan” tersebut?.

Pertama, kita perlu berkenalan dengan konsep “polaritas” terlebih dahulu. Hidup ini mengikuti hukum polaritas. Polaritas artinya dua kutub saling berlawanan. Ada atas, ada bawah. Ada gelap, ada terang. Ada jagad cilik dan jagad gede.  Ada alam sadar, ada alam bawah sadar. Ada kuat, ada lemah dan seterusnya. Itulah hukum kehidupan.

Setiap kita, manusia, akan mengikuti hukum polaritas tersebut. Termasuk dalam kepribadian kita. Contoh, kita punya sisi terang tapi juga punya sisi gelap dari kepribadian kita. Di satu sisi, kita punya kebaikan-kebaikan di mata orang lain. Namun, disadari atau tidak disadari,  kita pasti punya sisi-sisi buruk sebagai pribadi. Sisi buruk ini boleh jadi terlihat atau tak terlihat oleh orang lain. Sisi buruk inipun bisa kita sadari atau malah tidak kita sadari. Keburukan kita mungkin tenggelam atau kita tenggelamkan ke alam bawah sadar diri kita.

Pribadi yang utuh adalah pribadi yang tahu, mampu dan mau mengakui  kedua sisi tersebut- baik dan buruk. Tak ada manusia sempurna. Semua orang punya kelebihan dan kekurangannya. Kesadaran untuk memahami dan menerima diri sendiri adalah syarat pertama untuk menjadi pribadi yang utuh.

Mengenal dua sisi gelap terang dari kepribadian dan menyatukannya perlu dilakukan dengan sadar, ikhlas serta yang terpenting- jujur. Tak ada apapun yang dapat dikendalikan bila kita sendiri belum mengenalnya. Tanpa mengenal sisi gelap atau bahkan menolaknya maka akan membuat sisi gelap itu menjadi semakin gelap (nigredo) dan sulit dikendalikan. Ia bisa muncul sewaktu-waktu dan biasanya mengejutkan. Membuat kita tak habis pikir kenapa sampai kita lakukan hal  aneh yang rasanya “bukan kita”. Hanya dengan mengenali sisi gelap kepribadian kita maka kita dapat mengendalikannya. Itulah prinsip dalam psikologi transpersonal.

Kedua, keutuhan itu harus diperluas. Bukan hanya menyatukan diri pribadi yang berlawanan saja tapi menyatukan atau integrasi dengan semesta juga mutlak. Manusia bukanlah entitas yang berdiri sendiri dan terasing dari semesta.  Seperti juga jiwa subyektif manusia, semesta pun memiliki jiwa yang disebut sebagai “objective psyche”, jiwa yang obyektif. Jiwa kolektif yang terletak  di luar diri manusia. Jadi ada dua jiwa, satu subyektif, satu lagi kolektif. Jiwa kolektif inipun punya hukum  polaritas. Ia punya sifat buruk atau baik sesuai standar universal. Jiwa kolektif inilah yang mengatur mengapa kita bertemu atau tidak bertemu dengan seseorang. Mengapa kita mengalami peristiwa tertentu, dan seterusnya yang sering kita sebut kebetulan. Padahal dengan memahami adanya jiwa kolektif maka tak ada yang namanya kebetulan. Jiwa kolektif itulah yang menetapkan situasi apa yang kita jumpai dan lalu kita sadari kemudian menyebutnya sebagai “takdir”.

Dasar pemikiran dari adanya jiwa subyektif (diri kita) dengan jiwa kolektif (semesta) adalah konsep dalam bahasa Latin yang disebut “unus mundus”. Unus artinya satu (uno) dan Mundus artinya semesta atau dunia (mondial). Dunia ini satu. Kita merasa  seolah terpisah dengan semesta, padahal tidak. Kita bagian dari semesta.

Integrasi pribadi dengan semesta ini seyogianya jadi tujuan dari usaha bertransformasi menjadi pribadi yang utuh. Karena itu kita memahami tindakan para “spiritual seeker”  yang berusaha mendekat bahkan menyatukan dirinya dengan alam semesta. Baik secara fisik maupun spiritual. Secara fisik, dilakukan dengan mendekat kepada  alam atau “nature”. Mendaki gunung atau menjelajahi hutan dan lautan. Sedangkan secara spiritual,  dilakukan lewat meditasi dalam segala bentuknya.

Dua prinsip tersebut : polaritas dan  penyatuan atau integrasi menuju kepribadian utuh itu telah lama dicerminkan lewat simbol-simbol para leluhur kita. Keris adalah contoh paling nyata.

Pertama, keris sudah mencerminkan hukum polaritas lewat simbol-simbol. Bilah keris itu terdiri dari besi dan meteorit. Bahwa meteorit disimbolkan sebagai  “bapa angkasa” dan besi adalah “ibu bumi” maka itu simbolisasi dari polaritas yang berlawanan.

Kedua, bersatunya keris dengan sarungnya atau warangkanya  disimbolkan sebagai penyatuan polaritas antara “bapa angkasa” dengan “ibu bumi”. Inilah simbolisasi bahwa tujuan akhir hidup ini adalah menyatukan semua polaritas yang dimiliki setiap jiwa. Termasuk polaritas antara jiwa kita  sebagai individu yang subyektif dengan semesta yang obyektif ini.

Pada akhirnya, kita akan sadar bahwa kita adalah bagian integral dari semesta ini. Kita harus menerima diri kita sendiri dengan utuh. Kita harus menerima bahwa kita bagian dari semesta. Manakala kesadaran itu muncul, di saat itulah kita menjadi pribadi yang lebih arif atau wise, tetap rendah hati dan selalu mengingat sang pencipta. ini seyogianya dirawat  dengan usaha terus menerus  untuk menyatukan jiwa kita secara utuh-sisi baik dan buruknya-serta  bersatu dengan semesta (manunggaling jagad cilik dan jagad gede)-baik secara fisik maupun spiritual.  (BH)

*Artikel ini ditulis sebagai bagian kompilasi tulisan para Budayawan Tradisi dalam buku berjudul Kebangkitan Budaya Nusantara.

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.