Ditulis Oleh: Khintan Sucitasari Mustofa, S. Psi dan Anindya Dewi Paramita, M. Psi., Psikolog

Pada akhir tahun 2022 lalu, kanal berita nasional diramaikan dengan berita seorang pemuda di daerah Banten yang dilaporkan ke pihak berwajib setelah menyebarkan video asusila bersama dengan mantan kekasihnya kepada kerabat dan teman-temannya setelah mantan kekasihnya memutuskan hubungan dengannya (Muslimah, 2023). Peristiwa penyebaran dengan motif sakit hati atau balas dendam ini dikenal dengan istilah Revenge Porn. Secara terminologi, revenge porn merujuk pada penyebaran foto atau video intim tanpa persetujuan dari individu yang bersangkutan dengan maksud menyebabkan kesusahan (Bloom, 2014).

Revenge porn terjadi ketika seseorang mengunggah foto atau video dalam konteks hubungan intim atau adegan mesra seseorang secara daring, Biasanya hal ini dilakukan oleh mantan kekasih, mantan suami, selingkuhan ataupun orang yang tersakiti. Bahkan pelakunya bisa saja merupakan seorang peretas yang bertujuan untuk mencemarkan nama baik atau berniat menjatuhkan citra pihak lain. Revenge porn ini digunakan pelaku sebagai alat guna memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu agar tetap berada di dalam hubungan, meminta uang, mengancam, dan berlanjut hingga kekerasan seksual. Bentuk dari revenge porn sendiri sangat beragam, mulai dari menyebarluaskan rekaman video yang awalnya dilakukan untuk konsumsi pribadi, mengambil gambar atau merekam video tanpa izin seperti meletakkan kamera tersembunyi di kamar mandi atau kamar tidur, dan sebagainya. Dalam kasus revenge porn cenderung pihak yang dirugikan adalah wanita dan seringkali terjadi paling banyak menyerang wanita dibandingkan dengan pria. Hal ini diakibatkan karena adanya konstruksi sosial yang menganggap bahwa wanita sebagai obyek seksualitas. Selain itu budaya patriarki yang menjamur di masyarakat yang menempatkan bahwa perempuan sebagai liyan (Sugiyanto, 2021). Korban revenge porn seringkali mendapatkan victim blaming dan stigma negatif dari masyarakat. Bahkan seringkali kurang mendapatkan perlindungan. Masyarakat justru menyudutkan posisinya dengan melakukan penghakiman terhadap moral perempuan. 

Matsuri (2015) dan Bates (2016) menambahkan bahwa kegiatan menggunggah foto orang lain tanpa busana atau semi-tanpa busana ini dilakukan biasanya sebagai bentuk balas dendam setelah putusnya suatu hubungan, dengan memanfaatkan kepemilikan materi pornografi yang diperoleh secara ‘sah’. Revenge porn merupakan salah satu bentuk pelanggaran seksual (Bloom, 2014). Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk dari nonconsensual pornography (Bates, 2016). Angka kasus revenge porn di Indonesia sampai saat ini sudah menunjukan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan (CATAHU) Pada tahun 2020 Komnas Perempuan mencatat terdapat 97 kasus kekerasan pada perempuan di dunia maya dimana 33% diantaranya termasuk dalam kategori revenge porn. Sedangkan pada tahun 2020 berbagai spektrum dan bentuk kekerasan yang beragam dilaporkan dan terekam oleh komnas perempuan. Tercatat kenaikan yang cukup signifikan dari tahun sebelumnya, yakni sebanyak 281 kasus yang sebelumnya 97 kasus. Hal Ini menunjukkan bahwa setiap tahun angka kejahatan revenge porn terus meningkat.

Penelitian yang berkembang untuk mengkaji isu ini sebagian besar dilakukan terhadap perempuan sebagai korban, dengan usia rata-rata partisipan di kategori usia dewasa (20-30 tahun). Branch, Hilinski-Rosick, Johnson, & Solano (2017) menemukan bahwa sebagian dari korban memang pernah mengirimkan foto atau video yang cukup vulgar atas dirinya kepada orang lain, yang dilakukan sebagai bentuk interaksi seksual secara virtual, sehingga konten yang disebarluaskan tidak murni direkam atau diambil oleh pelaku, dan sekitar 10% di antaranya mendapati orang lain mengirimkan gambar atau video tentang dirinya yang tersebar tersebut. (Short, Brown, Pitchford, & Barnes, 2017) memaparkan bahwa penyebarannya bisa dilakukan di berbagai kanal seperti situs jejaring sosial,forum-forum digital di Internet, maupun melalui berkirim pesan. Penelitian ini juga mengungkap bahwa 5% dari partisipan mengalami pemecatan atau penurunan jabatan akibat peristiwa yang menimpanya. Beberapa area lainnya yang terdampak antara lain mengalami penurunan performa kerja, terpengaruhnya hubungan dengan keluarga dan teman-teman, dan ada perasaan jauh dari lingkungan sosial.

Citron & Franks (2014) menambahkan bahwa peristiwa revenge porn memunculkan rasa malu dan penghinaan di depan umum, kesulitan atau bahkan sampai ketidakmampuan untuk menemukan pasangan romantis baru, hingga pelecehan dan penguntitan secara langsung. Kejadian seperti ini pada akhirnya memunculkan sejumlah isu kesehatan mental baik jangka panjang maupun jangka pendek, seperti timbulnya gejala depresi dan kecemasan (Citron & Franks, 2014), kesulitan untuk percaya terhadap orang lain, hingga gejala PTSD (Bates, 2016). Korban kerap merasa khawatir wajahnya yang sudah terpapar di dunia digital akan dikenali oleh orang lain, sehingga sampai pada keputusan untuk mengubah penampilannya dan rutinitasnya agar tidak dikenali lagi oleh orang lain. Ada juga perasaan kehilangan kontrol atas dirinya, mengubah cara pandang terhadap tubuhnya dan munculnya perasaan tidak pantas. Short, Brown, Pitchford, & Barnes (2017) bahkan mendapati 59% di antara korban yang menjadi partisipannya berakhir dengan melakukan self-harm hingga menyebabkan luka atau perdarahan untuk membantunya merasa terbebas dari perasaan negatif yang melanda. Beberapa di antaranya bahkan terpikir untuk bunuh diri (Bates, 2016).

Saat ini di Indonesia korban revenge porn dilindungi oleh Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pasal 14 yang mengatur tentang kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain itu, hukum revenge porn juga tercantum dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang pornografi yang meralang menyediakan dan memperluas konten berisi pornografi. Sedangkan bantuan psikologis bisa berupa mendatangi profesional seperti psikolog atau psikiater untuk mendapatkan bantuan secara psikologis. Ketika menanyakan kepada para korban terkait tindak lanjut dari peristiwa revenge porn yang diterimanya (Short, Brown, Pitchford, & Barnes, 2017) mendapati bahwa hanya 10% yang melaporkan kepada polisi dan 4% menghubungi layanan bantuan.

Selanjutnya, bentuk upaya yang dilakukan para korban untuk melepaskan dirinya dari belenggu peristiwa revenge pornyang dialaminya adalah mengganti nomor kontak maupun bentuk kehadiran di sosial medianya. Masih banyak partisipan yang memilih bentuk coping yang maladaptif untuk membantunya merasa lebih baik dari kejadian yang menimpanya, seperti mengonsumsi alkohol, menghindari situasi sosial, dan sebagainya. Untuk dapat membantu para korban sampai pada bentuk coping yang lebih positif adalah adanya perasaan tidak sendirian yang bisa muncul karena menjalani sesi bersama konselor dan terapis, bercerita pada teman, dan mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman (Bates, 2016; Short, Brown, Pitchford, & Barnes, 2017). Selain itu, memberikan dukungan dan bantuan pada sesama yang memiliki pengalaman yang serupa juga dapat membantu para korban untuk bisa beranjak dari hawa negatif yang dialami.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) saat ini telah meluncurkan Layanan Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Layanan SAPA 129 ini merupakan revitalisasi layanan pengaduan masyarakat Kemen PPPA. Terdapat 6 layanan standar dalam penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus, yaitu: 1) pelayanan pengaduan; 2) pelayanan penjangkauan; 3) pelayanan pengelolaan kasus; 4) pelayanan akses penampungan sementara; 5) pelayanan mediasi; dan 6) pelayanan pendampingan korban. Pelayanan pengaduan merupakan pintu awal bagi perempuan dan anak korban kekerasan untuk melaporkan kasus yang dialaminya. Korban bisa langsung melakukan pengaduan dengan menghubungi  call center SAPA 129.

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.