Ditulis Oleh: Widura IM

Banyak informasi viral yang beredar di dunia maya, tapi apakah semuanya benar? Mari kita bahas fenomena hoax yang sering dianggap “mengacaukan” dunia informasi. Belakangan ini istilah hoax (baca: hoks) menjadi topik hangat baik di media masa maupun media sosial. Dalam KBBI, hoax berarti berita bohong. Istilah hoax sendiri berasal dari bahasa Inggris yang artinya tipuan, menipu, berita bohong, berita palsu dan kabar burung. Hoax sering digunakan dalam politik sebagai alat fitnah untuk menjatuhkan lawan politik, atau bahkan untuk mengarahkan opini dan membentuk persepsi publik. Namun, perlu diingat bahwa kata hoax sebenarnya tidak seseram itu.

Perkembangan istilah hoax dari bentuk-bentuk sebelumnya dapat ditelusuri dalam buku “A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names dan Allusions to Customs”, karangan Robert Nares yang terbit pada 1822 di London. Disebutkan oleh Robert Nares bahwa  kata hoax mulai dipakai di Inggris pada abad ke-18. Selanjutnya, Robert Nares menulis bahwa hoax berasal dari hocus, sebuah kata Latin yang merujuk pada hocus pocus. Hocus pocus mengacu pada mantra para penyihir yang kemudian dipakai para pesulap ketika memulai sebuah trik sulap. Hocus pocus diambil dari nama penyihir Italia yang terkenal, yakni Ochus Bochus. Pengertian “menipu” di sini ditujukan untuk mengacaukan pikiran atau persepsi orang lain demi hiburan. Adapun orang yang ditipu tak merasa dirugikan dan memang paham bahwa ia sedang dikacaukan. Pengertian hoax sejak awal menurut Robert Nares adalah “kabar bohong yang dibuat untuk melucu” atau sengaja membingungkan penerima informasi dengan maksud bercanda. Hoax bisa disejajarkan dengan lelucon April Mop atau legenda-legenda perkotaan yang tak bisa dibuktikan dan kita tahu bahwa cerita-cerita tersebut bohong dan menerimanya sebagai hiburan.

Seiring waktu, istilah hoax berkembang menjadi canda yang lebih serius. Pada  tahun 1996, Alan Sokal seorang profesor fisika di New York University menggunakan hoax untuk menguji standar intelektual akademisi humaniora di Amerika Serikat. Alan Sokal mengirimkan paper “Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity” yang berisi argumen dan fakta palsu ke jurnal Social Text. Beberapa minggu setelah paper Sokal terbit, Alan Sokal menulis esai berjudul “Physicist Experiments with Cultural Studies” yang terbit di jurnal Lingua Franca pada 15 April 1996. Dalam esainya, Sokal membeberkan bahwa papernya yang terbit di Social Text itu hanyalah parodi untuk mengejek para pemikir postmodern. Di kemudian hari insiden ini masyhur di kalangan publik akademisi dengan nama hoax Sokal.

Hoax dan fake news

Apa perbedaan antara hoax dan fake news? Untuk mempermudah penjelasan perbedaannya, dapat diilustrasikan sebagai berikut: Berdasarkan  istilah,  fake news adalah berita bohong, berita buatan atau berita palsu yang sama sekali tidak dilandaskan dengan fakta, kenyataan atau kebenaran. Misalnya; sebuah pabrik tekstil di Jakarta terbakar pada hari Minggu kemarin. Padahal kenyataannya,  pabrik tersebut sama sekali tidak mengalami kebakaran. Berbeda dengan istilah hoax yang diartikan sebagai informasi palsu dengan mengubah fakta atau kenyataan yang sebenarnya. Misalnya; RS dikabarkan dianiaya orang tak dikenal di Bandung hingga luka-luka. Fakta sebenarnya adalah RS mengalami luka akibat operasi plastik di Jakarta. Berita bahwa RS mengalami luka akibat operasi adalah benar sesuai fakta namun dipelintir menjadi luka akibat dianiaya. Jadi  di kasus ini ”Hoax” dapat diartikan sebagai suatu informasi yang benar menjadi tidak benar.

Penyebab berkembangnya hoax

Apa sebabnya hoax ini muncul atau disampaikan ke khalayak? Bila ditelisik, setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan orang mengabarkan hoax. Penyebab ini bisa karena ada intensi dan bisa juga karena non-intensi.

Penyebab dengan Intensi.  Pada kondisi ini, hoax disebarkan karena adanya niat atau intensi tertentu.  Di sini hoax memang disebarkan dengan sengaja. Ada beragam intensi mengapa seseorang mengabarkan berita hoax.  Intensi ini bisa terkait karena ada imbalan uang, atau hanya sekedar hiburan lucu-lucuan. Ada juga orang yang menyebarkan hoax karena ingin mendapatkan perhatian dari lingkungan masyarakat, atau supaya dia tenar, atau untuk mengganggu status quo, bahkan balas dendam.

Penyebab non – Intensi. Pada kondisi ini, hoax muncul sebagai efek defisiensi atau keterbatasan kognitif bersifat manusiawi.  Secara alamiah, kemungkinan pertama terjadi karena kesalahan dan keterbatasan memori. Seperti diketahui rentang memori manusia umumnya terbatas, sehingga tidak semua informasi dari lingkungan yang masuk dapat diingat secara penuh, belum lagi jika waktu retrieval cukup lama.  Sehingga informasi yang paling mudah diingat atau yang menarik saja yang diungkap, dan informasi ini bisa berbentuk hoax karena tidak komprehensif. kemungkinan ke dua adalah atribusi sosial, yang terkait dengan adanya proses menyimpulkan penyebab peristiwa atau perilaku. Ketika seseorang berupaya menyimpulkan penyebab suatu peristiwa terjadi atau perilaku tertentu muncul, tidak dapat dihindari keterlibatan persepsi dan pengalaman subjektif seseorang yang mengarahkan sikapnya pada hal-hal bersifat stereotipe bahkan prasangka-prasangka sosial tertentu, sehingga informasi berdasarkan fakta bisa menjadi hoax. Kemungkinan ke tiga adanya salah pertimbangan (mis-judgement).  Kesalahan ini terjadi karena daya timbang (judgment) ada di antara dua kutub kognitif (pengetahuan, kemampuan berpikir) dan afektif. Secara konsepsional, posisi daya timbang lebih condong ke arah afektif, sehingga dapat dipahami jika seseorang kebetulan dalam kondisi emosional, daya timbangnya akan banyak dipengaruhi oleh kondisi emosinya dan cenderung kurang rasional.

Kondisi manusiawi seperti tersebut di atas dapat menyebabkan mengapa seseorang bisa mengabarkan hoax walaupun sebetulnya tidak ada intensi/niat untuk menyebarkannya.

Mengapa hoax dipercaya sebagai kebenaran?

Sering kita amati berita hoax dipersepsi sebagai berita yang sesuai fakta dan dinilai benar.  Menariknya mengapa seringkali sebagian masyarakat, atau tokoh masyarakat bahkan tokoh akademis tertentu bisa tetap teguh pada keyakinan mereka terhadap suatu berita hoax walaupun mereka dihadapkan pada bukti-bukti bertentangan yang sangat banyak? Jawabannya terletak pada kecenderungan psikologis bersifat manusiawi yang ketika dicampur bersama membentuk resep ampuh untuk menutupi ketidaktahuan.

Kecenderungan psikologis apa saja yang dapat menjelaskan fenomena ini. Pertama adalah bias konfirmasi. Bias konfirmasi, merupakan kecenderungan orang untuk mencari informasi atau bukti yang dapat menegaskan keyakinan mereka dan mengabaikan apa yang bertentangan dengan keyakinan mereka tanpa mempedulikan kebenaran. Demikian banyak stimulus berupa informasi dari lingkungan untuk diserap manusia.  Secara manusiawi orang akan menyaring informasi tersebut dan lebih memprioritaskan informasi yang berhubungan dengannya, baik karena pengalaman maupun keyakinannya.  Masuk akal bila seseorang atau sekelompok orang, karena alasan khusus (keyakinan) seperti kesalehan atau patriotisme, akan benar-benar percaya pada berita hoax yang mendekati keyakinannya.

Faktor kedua, disonansi kognitif.  Faktor ini menggambarkan keadaan ketegangan yang terjadi ketika seseorang menghadapi dua pemikiran (atau ide, pendapat) yang secara psikologis tidak konsisten.  Secara naluri orang akan meredakan ketegangannya dengan mengacu pada pemikiran yang dipercava dapat meredakan ketegangan. Contoh yang popular adalah mengapa perokok tetap merokok walaupun bukti-bukti bahkan secara ilmiah mengungkap bahwa merokok itu membahayakan kesehatan. Bila ditanyakan kepadanya mengapa masih merokok, umumnya akan menjawab bahwa kakeknya yang sudah berusia di atas 80 tahun masih merokok dan sehat, atau tokoh masyarakat yang menjadi anutannya tetap merokok dan tetap sehat.  Sehingga masuk akal bila seringkali pihak-pihak yang menyebarkan berita hoax akan mengacu pada pendapat tokoh masyarakat yang pemikirannya mendekati berita hoax tersebut.

Ketiga, karena alasan motivasi yang menggambarkan kecenderungan orang untuk menerima pemikiran yang ingin dipercayai dengan lebih mudah dan kesediaan melakukan analisis yang kurang tajam terhadap pemikiran atau berita yang tidak ingin dipercayai. Jelas, orang dengan motivasi relatif rendah dalam mendapatkan berita berupa fakta kebenaran cenderung malas mengembangkan informasi menjadi pengetahuan apalagi melakukan argumentasi untuk mendapatkan kebenaran suatu berita. Ia akan beranggapan buat apa repot-repot meneliti atau menginisiasi lebih dalam ketika segala sesuatu menurutnya sudah berjalan lancar.

Jadi apa perbedaan antara bias konfirmasi, disonansi kognitif, dan alasan motivasi? Jawaban singkatnya adalah sebenarnya tidak ada perbedaan. Secara umum, istilah-istilah tersebut mencakup tujuan yang sama yaitu untuk membingkai informasi sehingga masuk akal bagi kita.

Merangkum uraian di atas, hoax dapat diartikan sebagai informasi palsu atau berita yang mungkin saja berisi fakta namun telah direkayasa sehingga fakta menjadi fiksi.  Rekayasa ini sebenarnya memanfaatkan keterbatasan manusia secara psikologis dalam menerima dan mengolah suatu informasi. Tulisan tentang hoax lebih lanjut menarik untuk mengulas bagaimana penyebaran hoax yang sangat intens dengan memanfaatkan media sosial melalui internet.  Apa yang perlu diantisipasi dan diwaspadai serta bagaimana tindakan mengatasinya.

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.