The Silent Killer Of Dreams
Ditulis Oleh: RIC
Di dunia yang semakin kompetitif ini, banyak orang yang berjuang untuk menjadi yang terbaik. Namun, pada kenyataannya kebanyakan dari kita terjebak dalam mediocrity atau menjadi biasa-biasa saja. Apa itu mediocrity dan mengapa hal ini begitu mudah terjadi? Mari kita bahas.
Saya pernah menonton film berjudul Amadeus, yang bercerita mengenai kehidupan dan karya salah satu komponis terbesar dunia Wolfgang Amadeus Mozart dari sudut pandang seorang komponis Antonio Salieri. Komponis ini dianggap sebagai pesaing dan sahabat utama Mozart yang diduga meracuninya hingga tewas.
Sebagai informasi, Mozart adalah seorang komponis yang jenius dimana pada usia 4 tahun telah menulis piano concerto, pada usia 7 tahun telah menulis karya simfoni, dan pada usia 12 tahun telah menulis musik opera berskala besar. Sepanjang hidupnya Mozart telah menulis sekitar 700an komposisi yang terdiri dari simfoni, opera, konser piano, dan paduan suara, termasuk pula musik gereja. Mozart meninggal dunia pada usia 35 tahun karena sakit.
Saya tidak hendak membahas mengenai Mozart tetapi tentang Antonio Salieri, seorang komponis istana Kekaisaran Austria (Holy Roman Empire) yang merasa dikalahkan secara telak oleh kehebatan Mozart namun sekaligus mengagumi karya-karyanya yang sangat brilian dan jauh di atas kemampuan Salieri, sehingga ia mengatakan Tuhan menjadikan Mozart sebagai alat musikNYA.
Salieri menyesali dirinya mengapa Tuhan tidak membuat dirinya sehebat Mozart, padahal sejak awal cita-citanya adalah mengabdi kepada Tuhan melalui musik. Sehingga ia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang mediocrity atau seorang yang berkemampuan biasa-biasa saja, seorang nomor dua yang tidak akan bisa menjadi nomor satu. Kesadaran akan keadaan dirinya yang tidak mampu menyaingi Mozart (meskipun sebenarnya ia adalah seorang komponis yang handal) serta harga dirinya yang jatuh karena merasa dikalahkan, membuat Salieri memiliki sikap yang mendua (incongruent) terhadap Mozart. Benci namun menyanjung. Perasaan sebagai mediocre ini menyebabkan ia menjadi kontra produktif. Alih-alih berupaya meningkatkan kemampuannya menulis komposisi, ia malah terus menerus berupaya menghambat dan menjatuhkan Mozart. Bahkan ia meminta Mozart untuk menulis komposisi Requiem Mass (lagu misa kematian) yang ditujukan justru untuk dimainkan pada waktu kematian Mozart. Komposisi ini tidak selesai karena Mozart keburu meninggal.
Mediocrity agak susah untuk diterjemahkan secara tepat, karena kalau lihat di kamus terjemahannya adalah ‘biasa-biasa saja’ atau ‘sedang-sedang saja’. Mungkin arti yang lebih mengena adalah ‘tidak menonjol’, ‘kurang menarik’, atau ‘kurang/tidak istimewa’. Intinya mediocre adalah orang-orang yang tidak atau kurang mampu menampilkan kelebihan atau keunggulannya yang dapat dilihat orang lain sebagai suatu yang istimewa atau menonjol.
Mediocrity sebenarnya tidak harus terkait laingsung dengan tingkat kecerdasan. Dalam kasus Mozart, memang betul ia adalah seorang yang genius yang menghasilkan karya-karya brilyan yang tidak ada duanya. Namun Salieri pun sebenarnya seorang komponis yang cerdas, ia juga banyak menghasilkan karya-karya yang bagus. Hanya saja ketika dibandingkan dengan Mozart maka jadilah ia mediocre, atau paling tidak ia menganggap dirinya mediocrity dibandingkan sang maestro.
Dalam berbagai kasus, seseorang dapat saja menganggap atau dianggap mediocre ketika hasil karyanya dinilai kurang baik dibanding dengan karya yang dihasilkan orang lain yang barangkali tidak tergolong genius. Misalnya, banyak orang yang berjualan pecel lele namun tidak ada yang sesukses Rangga Umara (pendiri Pecel Lele Lela) yang telah memiliki lebih dari 90 outlet di berbagai kota di Indonesia, bahkan merambah sampai ke Malaysia. Atau, seorang Melly Goeslaw yang sangat produktif dalam menghasilkan lagu-lagu berkualitas yang laku keras di pasaran, sementara kebanyakan pencipta lagu lain hanya membuat lagu-lagu biasa saja meskipun laku juga. Atau mungkin saja di lingkungan dekat kita ada orang-orang yang hampir selalu menunjukkan prestasi kerja yang selalu melebihi standar yang ditetapkan, sementara kebanyakan yang lainnya targetnya hanya sekedar menyelesaikan tugas. Orang-orang yang seperti ini bisa dikatakan sebagai mediocrity.
Meski tidak selalu berkonotasi negatif mediocrity (sering pula digunakan untuk menunjukkan kenormalan suatu kondisi) cukup lazim digunakan sebagai label terhadap orang-orang yang kurang termotivasi untuk meraih yang terbaik, orang-orang yang cepat puas dengan kondisi seadanya, atau yang belum apa-apa sudah merasa kalah/tidak sanggup.
Dalam hal ini, Dr. Paul G. Stolz dalam konsep Adversity Quotient yang dikembangkannya mengatakan ada 3 tipe karakter yang terdapat di masyarakat ketika menghadapi kesulitan yakni The Climber, The Camper, dan The Quitter.
- The Climber dikatakan adalah tipe orang yang pantang berputus asa, fokus terhadap sasaran, dan tidak takut menghadapi tantangan atau hambatan.
- The Camper adalah tipe orang yang pada awalnya memiliki semangat juang yang tinggi namun ketika melihat tantangan dan hambatan yang terus-menerus menghadang akhirnya memilih berhenti di tengah jalan.
- The Quitter adalah tipe orang yang belum apa-apa sudah menyerah ketika melihat tantangan dan hambatan yang akan dilaluinya, mereka lebih memilih diam di tempat ketimbang harus berjalan menuju sasaran namun menemui tantangan dan hambatan.
Yang termasuk mediocrity di sini adalah tipe The Camper dan The Quitter.
Konsep Stolz ini menunjukkan bahwa mediocrity lebih disebabkan oleh faktor karakter dan sikap kerja daripada inteligensi. Jika dilihat dari sisi ini, barangkali Mozart pun termasuk orang yang gagal oleh karena sepanjang hidupnya terus menerus ia dirundung krisis keuangan. Ia tidak cukup keras berusaha untuk mengatasi masalah tersebut oleh karena hambatan egonya yang besar.
Lalu bagaimana dengan diri kita sendiri ?
Kalau boleh jujur, barangkali sebagian besar dari kita adalah mediocre atau The Camper dan The Quitter. Tidak perlu marah dulu ya. Coba kita bercermin, melakukan refleksi diri, lalu tanya pada diri kita, sepanjang kehidupan yang telah dijalani berapa banyak sasaran atau cita-cita hidup kita yang telah tercapai ? Apakah lebih banyak atau lebih sedikit ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, barangkali beberapa indikator di bawah ini bisa membantu:
Mediocrity (Camper & Quitter) | The Climber |
– Mudah menyerah/putus asa ketika menghadapi tantangan/masalah. – Merasa tidak berdaya/tidak mampu. – Cenderung menyalahkan orang lain. – Senang bicara masa lalu. – Tidak fokus dalam mengerjakan apapun selalu memiliki alasan untuk setiap kegagalannya. – Ingin bekerja yang mudah-mudah saja. – Mudah puas terhadap prestasi yang diperoleh. – Mudah pusing ketika menghadapi masalah. – Bertanggungjawab hanya terhadap lingkup tugasnya. – Merasa sudah takdirnya. | – Tidak mengenal putus asa. – Merasa memiliki kesanggupan. – Fokus terhadap pencapaian sasaran. – Berupaya terus-menerus memperbaiki pencapaian prestasi. – Ketika gagal, langsung bangkit kembali. – Menganggap tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi. – Tidak pernah menyalahkan orang lain atas kegagalan dirinya. – Merasa bertanggungjawab lebih dari yang dituntut. – Menganggap takdir ditentukan oleh dirinya sendiri. |
Tentu saja pengelompokkan indikator tersebut tidak hitam-putih. Adakalanya seseorang memiliki sebagian indikator Mediocrity sebagian lagi The Climber.
Mediocrity diduga juga terkait dengan pola budaya yang ada. Ada kelompok budaya yang sangat toleran terhadap kegagalan, ada pula kelompok yang sangat mengutamakan keberhasilan pada anggota kelompoknya.
Yang jelas, dalam situasi perekonomian yang sulit serta persaingan yang ketat seperti saat ini isu mediocrity menjadi sangat relevan. Artinya, orang-orang yang puas menjadi mediocre dipastikan tak akan ‘survive’ hidupnya. Bagaimana ia akan hidup nyaman bila ia tidak berani atau tidak termotivasi untuk berjuang dan bersaing dengan orang lain? Ia akan dengan mudah terlempar ke tepi dan tak mampu meraih peluang untuk hidup lebih baik.
Jadi, jika Anda merasa ada sedikit karakter mediocre di dalam diri Anda, dari sekarang ubahlah mindset Anda dan mulailah berjuang habis-habisan. Demi masa depan Anda.
“I believe a man must do what he can until his destiny reveals”.
(Saya percaya seseorang harus melakukan apapun yang ia bisa sampai takdirnya terwujud)
Captain Nathan Algrend Dari film The Last Samurai