Di Indonesia, mitologi pewayangan merupakan rangkayan kisah yang sarat dengan teladan hidup. Bahkan dalam wiracarita Mahabarata dan Ramayana tokoh-tokoh di dalamnya memiliki model karakter manusia ideal dan legkap. Maka tidak salah jika dicari kaitan antara wayang dan psikologi. Kosmologi Wayang dalam Perspektif Psikologi.
Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta (HIMPSI JAYA) bekerjasama dengan Komunitas Salihara menggelar diskusi “Kosmologi Wayang dalam Perspektif Psikologi” di Serambi Salihara, Jl Salihara no 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (29/5/2016).
Diskusi Kosmologi Wayang dalam Perspektif Psikologi.
Diskusi yang dibuka oleh Ketua Himspsi Jaya Dr. Widura Imam Mustopo, M.Psi, Psikolog ini menghadirkan Bagus Murtiarso untuk memaparkan perkembangan wayang dalam budaya Nusantara termasuk bagaimana relevansinya dengan kehidupan saat ini dan Prof Sarlito W. Sarwono untuk meninjau kosmologi wayang dari sudut pandang psikologi. Dalam hal ini, pendekatan psikologi untuk mitologi pewayangan
Bagus memaparkan bahwa wayang jawa merupakan alkulturasi dari kisah Mahabarata dan Ramayana dari India beberapa abad yang lalu. Alkulturasi itu berjalan secara bertahap dan berkelanjutan. Dia memberikan contoh, bahwa banyak tokoh wayang yang ada saat ini lahir di Indonesia tepatnya di tanah Jawa yang memiliki peran besar dalam percaturan wayang Jawa bahkan mendominasi kekuasaan.
“Jalan cerita wayang berkembang sedemikian rupa, sehingga dianggap cerita baku seperti halnya cerita Pandudewanata yang memiliki kesaktian berupa ‘Serat Kalimasada’. Ini mengingatkan tentang masyarakat Jawa yang beragama Islam,” tuturnya.
Banyak keunggulan dalam wayang Jawa, salah satunya, kata Bagus, yakni jalan cerita di dalamnya tidak ‘Kraton Sentris’ dan mengajarkan ‘demokrasi dengan budaya timur’. Bagus mencontohkan perbedaan penokoh Bhatara Guru di Jawa dan di India. Bhatara Guru di Jawa, kata dia, merupakan penguasa Khayangan sekaligus adik dari Bhatara Ismaya (jelmaan Semar saat amrahnya muncul melihat ketidakadilan) dan Bhatar Guru takut terhadap Bhatara Ismaya. Sedangkan di India, Bhatara Guru merupakan penguasa tunggal Khayangan yang tak terkalahkan.
Diskusi Kosmologi Wayang dalam Perspektif Psikologi : Wayang Karakter Bangsa
Profesor Sarlito W. Sarwono dengan tegas bahwa wayang adalah karakter bangsa, di mana Sarlito mencotohkan perihal cerita “kerja keras” dalam lakon Ramayana yang berjudul ‘Rama Tambak’. Dimana diceritakan, usaha Raja Rama dibantu oleh pasukan kera (anak buah dari Raja kera Sugriwa) dan seantero makhluk-makhluk laut untuk membuat bendungan yang menghubungkan selat antara kerajaan Ayodhya dan kerajaan Alengka. Bendungan itu dimaksudkan untuk sarana pasukan kera menyeberang dan menyerbu kerajaan Alengka untuk merebut kembali Dewi Shinta.
Jadi, kerja keras itu bukannya untk membendung air untuk dialirkan ke sawah-sawah rakyat untuk memingkatkan kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memenuhi hasrat cinta dari seorang raja yang merebut seorang wanita. Sehingga bisa dibayangkan, kata Sarlito, berapa ribu tentara kera dan tentara raksasa yang mengorbankan nyawanya demi membela ndoro-ndoro mereka yang sedang kasmaran.
“Jika kita simak kehidupan bangsa Indonesia hari ini, gambarannya tidak jauh berbeda dari gambaran di pewayangan (diatas). Paling tidak untuk sebagian bangsa Indonesia. Sebagai contoh, banyak orang bermimpi untuk meraih martabat, kehormatan dan kesejahteraan, melalui kekuasaan. Termasuk menjatuhkan lawan dengan berbagai intrik dan fitnah,” tutur sarlito.
Pakar Psikologi Universitas Indonesia itu memaparkan perbandingannya lebih jelas, bahwa intrik dan fitnah itu terhadi pada pilpres dan pilkada, di mana ada yang meminta restu kepada para Kiyai dan orang pintar, membeli suara dengan politik uang, dan membeli “Tuhan” (dalam wayang: Dewa) dengan cara memperbanyak ibadah, sholat tahajud, doa, sedekah, puasa, dan sebagainya (dalam wayang: bertapa).
Bahkan, lanjut Sarlito, di dunia pendidikan, kebiasaan “membeli” Tuhan pun banyak terjadi, ambil contoh saja setiap menjelang Ujian Nasional, ada saja sekolah-sekolah di seluruh Indonesia yang menggelar Sholat Istigozah dan upacara sungkeman dan meminta resku kepada orang tua dan guru agar diluluskan Ujian Nasional.
“Sebetulnya tidak ada salahnya jika melakukan sesuatu berdoa, meminta perlindungan dan berkah dari Yang Maha Kuasa, tetapi hal ini perlu diingatkan bahwa dalam pencapaian prestasi kerja keras dan usaha jauh lebih penting. Doa dan usaha harus seimbang,” tutur mantan ketua Himpsi Jaya ini.