
Ditulis oleh Nurul Khasanah, M.Psi., Psikolog
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tentu pernah menemui, mendengar, menyaksikan, atau bahkan mengalami peristiwa seperti ini: seseorang yang menyontek, seseorang yang melakukan korupsi, seseorang yang mencuri, seseorang yang membagi-bagikan hadiah, seseorang yang dinilai sebagai pendiam namun suatu hari ia speak-up. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah, individu tersebut demikian karena situasinya ataukah karena sifatnya? Proses ketika kita mencoba mencari informasi ini disebut sebagai atribusi. Atribusi adalah upaya kita untuk memahami penyebab di balik perilaku orang lain (Baron, R. A. & Byrne, D, 2005).
Menurut teori atribusi, penjelasan yang kita buat untuk perilaku diri sendiri dan orang lain biasanya digolongkan menjadi dua kategori, yaitu, atribusi situasional dan atribusi disposisional (Wade, C., Travis, C. & Garry, M, 2014). Pada atribusi situasional, alasan tindakannya karena lingkungan, sebagai contoh, seseorang menyontek saat ujian karena malamnya tidak belajar karena ia harus bekerja. Sedangkan, pada atribusi disposisional, alasan tindakannya karena sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri, sebagai contoh, seseorang menyontek karena memang karakternya curang. Lantas, bagaimana kita mengetahui, individu tersebut berbuat sesuatu karena atribusi situasional atau disposisional?

Menurut teori Kelley (dalam Baron, R. A. & Byrne, D, 2005), dalam upaya menjawab pertanyaan mengapa dalam perilaku seseorang, kita memusatkan perhatian pada hal yang berhubungan dengan sumber informasi penting. Pertama, konsensus, yaitu, derajat kesamaan reaksi orang lain terhadap stimulus atau peristiwa tertentu dengan orang yang sedang kita observasi. Makin tinggi proporsi orang yang bereaksi serupa dengannnya, makin tinggi konsensusnya. Kedua, konsistensi, yaitu, derajat kesamaan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus atau suatu peristiwa yang sama pada waktu yang berbeda. Ketiga, distingsi, yaitu derajat perbedaan reaksi seseorang terhadap berbagai stimulus atau peristiwa yang berbeda-beda. Menurut teori Kelley, kita mengatribusi orang lain pada penyebab internal (disposisional) manakala tingkat konsensus dan distingsinya rendah namun konsistensinya tinggi. Sebaliknya, kita mengatribusi perilaku seseorang pada penyebab eksternal (situasional) ketika kadar konsensus, konsistensi, dan distingsinya tinggi. Terakhir, kita mengatribusi perilaku seseorang sebagai kombinasi antara faktor internal dan eksternal ketika kadar konsensusnya rendah namun konsistensi dan distingsinya tinggi.

Apabila kita kaitkan dengan aspek mengenai konsensus, konsistensi, dan distingsi, dengan seseorang yang menyontek apakah karena faktor internal (disposisional) ataukah karena faktor eksternal (situasional), dapat diuraikan seperti berikut:
- Kita mengamati ternyata ada seseorang lainnya yang menyontek (konsensus tinggi).
- Kita mengamati bahwa orang tersebut juga pernah menyontek (konsistensi tinggi).
- Kita belum pernah menyaksikan bahwa orang tersebut menyontek (distingsi tinggi). Pada contoh tersebut, konsensus tinggi, konsistensi tinggi, dan distingsi tinggi. Artinya, kita mengatribusi bahwa situasinya yang memungkinkan orang tersebut menyontek.
Sebaliknya, apabila peristiwanya seperti ini:
- Tidak ada seorang pun yang menyontek (konsensus rendah).
- Kita pernah mendapati orang tersebut menyontek namun di waktu yang berbeda (konsistensi tinggi).
- Kita pernah mendapat informasi bahwa ia juga menyontek saat di kelas lainnya (distingsi rendah) Pada contoh tersebut, kita dapat mengatribusi bahwa pelaku orang tersebut karena atribusi internal, artinya, orang tersebut memang karakternya berbuat curang.
Jadi, sebelum kita menilai dan menyimpulkan perilaku orang lain, alangkah lebih baik apabila kita memahami kembali mengenai atribusi ini.
Referensi:
Baron, R. A. & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial. 10 ed. Terj. Jakarta: Erlangga Wade, C., Travis, C. & Garry, M. (2014). Psikologi. 11 ed. Terj. Jakarta: Erlangga.