KERIS DAN SPRITUALITAS ORANG JAWA

Catatan untuk buku TAFSIR KERIS
Penulis: Buntje Harbunangin *)

Lelaki setengah baya itu bersama kedua kawannya melewatkan malam dengan membaca Woodsworth, Keats, Browning dan terutama Whitman. Kira-kira tengah malam merekapun berpisah. Lelaki itu menempuh perjalanan pulang yang panjang dengan kereta kuda. Pikirannya tenang dan damai, terpengaruh oleh ide-ide, gambaran-gambaran, dan emosi-emosi yang dihadirkan oleh bacaan dan percakapan malam itu. Ia berada dalam keadaan gembira yang tenang dan hampir-hampir pasif.

Tiba-tiba, tanpa tanda-tanda sedikitpun sebelumnya, ia merasa dirinya seolah-olah diselimuti awan berwarna nyala api. Mula-mula ia berpikir ada kebakaran, suatu kebakaran yang terjadi di kota. Tak lama ia pun sadar bahwa terang itu ada dalam dirinya.

Segera setelah itu timbul pada dirinya suatu perasaan sukacita, kegembiraan yang luar biasa, disusul oleh sebuah pencerahan intelektual yang tidak mungkin dilukiskan.

(RM Bucke, Psikiater Kanada, dalam kunjungannya ke Inggris tahun 1872)

—————————–

Belakangan Bucke memberi nama peng-alam-annya itu sebagai secercah “kesadaran kosmik”. Sebuah istilah yang ia pinjam dari filsafat Vendata, India.

Sebelumnya Bucke sudah berusaha mencari teori psikologi yang dapat menjelaskan pengalamannya tersebut dan gagal. Bertahun-tahun kemudian, banyak koleganya yang juga mencoba menerangkannya dan berakhir sama, gagal. Kegagalan itu
karena pada masanya psikologi masih didominasi oleh dua mashab besar yakni Psikoanalisa ( 1900) dan Behaviorisme (1913)

Psikoanalisa hanya akan mengatakan Bucke sedang mengalami kompleks kekanak-kanakan (infantile complex) yang tidak berdaya. Sedangkan mashab Behaviorisme itu sangat dipengaruhi Ilmu Pengetahuan Alam. Ilmu ini hanya tahu, mau dan mampu menjelaskan segala sesuatu yang bisa diobservasi, diukur dan dikendalikan secara eksperimental. Di luar itu divonis sebagai “ non ilmiah”. Sedangkan psikologi umum lainnya akan dengan cepat dan semena-mena menyematkan label psikopatologis kepada Bucke. Dikatakan, Bucke sedang mengalami halusinasi, delusi atau waham kebesaran.

Syukurlah ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti pada satu titik. Semangat ilmiah tidak boleh dogmatis. Ilmuwan sejati tidak akan tergesa-gesa mengatakan sesuatu itu tidak ilmiah hanya karena ia tidak dapat menjelaskannya. Lebih bijaksana mengatakan ilmu pengetahuan saat ini belum dapat menjelaskan gejala tersebut. Pada akhirnya psikologi bisa juga menjelaskan gejala yang dialami Bucke tersebut. Psikolog Abraham Maslow menyebutnya sebagai peak experience, pengalaman puncak. Sementara psikolog transpersonal akan menjelaskan bahwa saat itu Bucke sedang mengalami situasi non-duality. Dirinya sedang bersatu dengan alam semesta. Tidak ada lagi pemisah antara diri dan semesta. Bucke sedang mengalami sebuah pengalaman spiritualitas yang hebat.

Ada Sesuatu Di dalam Keris

Tafsir Keris atau Kris: An Interpretation adalah judul sebuah buku dwi-bahasa Indonesia-Inggris yang ditulis Toni Junus, seorang perupa, pemerhati dunia kebatinan Jawa, kolektor sekaligus aktivis masyarakat keris. Buku setebal 250 halaman ini menerangkan banyak hal tentang keris. Termasuk untuk apa dan bagaimana keris dibuat, macam-macam keris, kekuatan yang diyakini dari setiap keris, ritual-ritual penting orang Jawa dilengkapi pula dengan gambar koleksi keris pilihan dari para kolektor keris.

Dengan latar belakang kebudayaan spiritual Jawa, tepatnya Solo, buku Tafsir Keris ini ingin bercerita tentang hubungan keris dan spiritualitas . Dalam kata pengantar yang ditulis Romo Magnis Suseno dikatakan bahwa masyarakat Jawa menganggap keris punya roh sendiri.
Karena itu keris yang ampuh memberi kedigdayaan pada pemiliknya. Latar belakang kepercayaan itu adalah keyakinan masyarakat Jawa bahwa di belakang alam yang kelihatan ada alam yang halus dan alam itulah yang menggerakkan dari dalam apapun yang terjadi di alam kasat-mata. Karena itu orang yang bijaksana tidak akan memfokuskan perhatian pada unsur-unsur dunia kasat- mata seperti kekuatan fisik, persenjataan hebat, uang dan lain sebagainya melainkan pada alam seberang.

Menurut Romo Magnis pula, dalam kepercayaan Jawa, keris yang ampuh mengkonsentrasikan enersi dari seberang ke dalam dirinya sendiri. Enersi itu lantas meresap juga ke dalam orang yang memiliki dan memegang keris itu. Keris termasuk azimat yang harus dipelihara baik agar kekuatan ghaib tidak menguap daripadanya. Karena itu keris main peran begitu besar dalam masyarakat Jawa.

Catatan kecil ini bermaksud menyumbangkan bekal bagi pembaca awam yang ingin memahami buku ini. Langkah awalnya tentu pembaca harus membuka hati dan pikiran seluas-luasnya terlebih dahulu. Ia perlu mengerti alam pikiran orang Jawa. Ia mesti belajar konsep enersi, alam seberang, penyatuan diri dengan semesta. Ia bersedia dan tidak sulit menerima kenyataan bahwa seperti inilah persepsi seorang Jawa (pencinta keris) :

Punya keris berdhapur Jalak ( dhapur adalah sebutan untuk bentuk) baureksa atau penunggunya diberi minyak rambut dan wewangian bunga-bunga…. Punya keris berdhapur Carita Keprabon, baureksanya harus ditemani burung Gelatik….. Punya keris berdhapur Brojol, hewan kesenangannya adalah Perkutut…. (hal 27).

Keris berpamor Ron-Genduru harus menyanding istri muda. Jika tidak maka dalam rumah tangganya akan ada yang sakit menahun, susah sembuhnya (hal 27).

Dhapur keris Naga Siluman harus digantung pada tembok atau dinding papan. Jika tidak maka kerisnya sering terbang menghilang, mencabut nyawa orang yang iri hati… (hal 27)

Dhapur luk 15 yang disebut dhapur Ngamper Bantolo memberi harapan agar sang pemilik dengan mudah dapat menguasai wilayah yang luas. Misalnya raja yang berekspansi ataupun tuan tanah. Dhapur ini cocok bagi mereka yang bekerja di bidang properti….(hal 50)

Keris berdhapur Sempana Bener tangguh Kediri ini bergelar Kanjeng Kyai Gajah Birawa. Artinya seekor gajah yang angker, menakutkan, berwibawa dan serba dahsyat… tuahnya untuk kewibawaan bagi pemiliknya (hal 103)

Keris berdhapur Brojol, bentuknya sederhana tidak banyak variasi, hanya dihiasi gandhik saja. Keris ini diperkirakan tangguh Majapahit (Tuban-Majapahit) dengan pamor Batulapak. Menghayati pamornya terbaca pula seolah seperti lidah api yang turun (wahyu tumurun) dan dipahami sebagai wahyu………… Keris ini untuk seorang pemimpin yang memiliki banyak bawahan. Dari tempa-lipat besinya yang sangat padat memiliki makna kedalaman religius bagi siapapun yang memiliki keris ini… (hal 134)

Realitas Itu Subyektif.

Fenomenologi menerangkan bahwa ada cara lain di dalam melihat sesuatu. Cara yang tidak sama seperti kamera memotret sebuah obyek. Lewat cara lain itu maka keris bukan lagi suatu obyek yang pasif. Keris bukan hanya terdiri dari besi, baja dan meteorit. Keris adalah sebuah realitas. Realitas itu terdiri dari hal yang dialami, diketahui dan dimengerti (Hugenhotlz). Pengalaman,pengetahuan dan pengertian setiap orang bisa berbeda satu dengan lainnya. Oleh sebab itu realitas adalah subyektif. Seorang awam tentu terheran-heran mendengar apa yang dilihat seorang mistikus atau esoteris dari sebilah keris. Akan tetapi bagi sang esoteris,apa yang ia persepsi itulah yang nyata (perception is reality).

Seorang esoterik menciptakan “alam” yang berbeda dengan sang awam ketika mempersepsi sebilah keris. Sang awam hanya bisa meraba tekstur besinya, memeriksa bentuk dhapur, guratan pamor, mendengar dentingnya, mencium aroma besi atau wewangiannya. Ia hanya tahu sampai apa yang dapat dijangkau oleh indrianya. Badannya hanya mampu menciptakan alam yang kasat-indria. Sang esoteris tidak berhenti sampai sana saja. Seperti penari serimpi yang badannya menciptakan “alam tarian”, sang esoteris pun akan menciptakan “alam mistis”. Bagi sang awam yang mau belajar maka ia harus menyerahkan dirinya terlebih dahulu ke dalam alam yang sama dengan alam sang esoteris, alam mistis dan alam spiritual. Begitulah jalan yang harus ditempuh untuk memahami apa yang ditulis di dalam buku ini.

************

Buku Tafsir Keris ini, cukup berhasil mengangkat berbagai sikap dan perilaku mistis (baca: praktik esoteris) sebagai salah satu wilayah dalam life space kebudayaan Jawa. Wilayah itu terus menerus diwariskan dari generasi ke generasi dan berhimpun dalam ketidak-sadaran kolektif masyarakat Jawa.Tidak tertutup kemungkinan bahwa gejala yang sama ada pada seluruh kebudayaan suku lainnya di Indonesia ini. Benar tidaknya keyakinan-keyakinan dalam praktik tersebut bukanlah hal utama. Yang jelas bahwa gejala perilaku itu nyata keberadaannya, sama seperti kenyataan bahwa air mengalir dari gunung menuju pantai.

Bagi pembaca yang senang melakukan penelitian maka buku ini dapat menjadi referensi yang baik tentang keris dan spiritualitas orang Jawa..(BH)
*) penulis adalah Psikolog; salah satu tenaga ahli (komisi) pada Himpunan Psikologi Indonesia wilayah DKI Jakarta Raya (HIMPSI JAYA); penulis buku “Art & Jung”; seniman dan pemerhati seni. (RS:editor)

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.