Ditulis Oleh:

Engkin Zainal Muttaqin

Psikolog, Pengajar Fakuktas Psikologi Universitas Jayabaya, Praktek di Poli Psikologi RS Prima Tangerang dan Klinik Psikologi Pertamina Patra Niaga

Apa jadinya jika masa kecil diwarnai dengan orang tua yang dingin, kasar, atau terlalu mengontrol? Ternyata, pengalaman ini bisa meninggalkan jejak panjang yang membentuk kepribadian dan kemampuan kita menjalani kehidupan sebagai orang dewasa. Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Psychological Reports edisi bulan Maret 2025 menunjukkan bahwa pola asuh disfungsional berpotensi menyebabkan masalah dalam pekerjaan, hubungan sosial, hingga kesehatan mental. Menariknya, pola asuh buruk bukan membuat seseorang menjadi “jahat” atau sadis—melainkan menjadikan seseorang  kurang memiliki sifat dasar seperti ketekunan dan disiplin.

Pola Asuh yang Meninggalkan Luka Tak Kasat Mata

Dalam studi ini, peneliti mengamati bagaimana pengaruh pengasuhan yang negatif—seperti penelantaran emosional, kekerasan fisik atau verbal, serta kontrol berlebihan—berdampak pada kehidupan orang dewasa. Para partisipan diminta mengenang bagaimana orang tua mereka memperlakukan mereka sebelum usia 16 tahun, lalu menilai kondisi kehidupan mereka saat ini, mulai dari pekerjaan, hubungan, hingga kemampuan mengatur emosi.

Hasilnya cukup mencengangkan. Orang-orang yang tumbuh dengan pola asuh disfungsional cenderung mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Awalnya, para peneliti menduga bahwa hal ini terkait dengan ciri-ciri kepribadian gelap seperti psikopati atau sadisme. Namun, saat faktor kepribadian dasar seperti “conscientiousness” (ketekunan dan tanggung jawab) dan “agreeableness” (sikap ramah dan mudah bergaul) ikut dianalisis, dugaan tersebut berubah.

Bukan Karena Jahat, Tapi Karena Tak Teratur

Penelitian ini menemukan bahwa bukan sifat antisosial seperti psikopati yang paling menjembatani antara pola asuh buruk dan gangguan fungsi dewasa, melainkan rendahnya conscientiousness. Artinya, individu yang dibesarkan dengan pola asuh yang buruk cenderung tumbuh menjadi pribadi yang tidak teratur, impulsif, dan tidak disiplin. Dan karakter ini sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menjalani hidup yang stabil.

Salah satu peneliti, Charlotte Kinrade dari Kennesaw State University, menjelaskan bahwa rendahnya conscientiousness dapat membuat seseorang kesulitan merencanakan masa depan, menyelesaikan tugas tepat waktu, atau bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam konteks ini, dampaknya sangat nyata: bahkan sedikit penurunan dalam conscientiousness dapat meningkatkan kemungkinan masalah fungsional hingga 20 persen.

Peran Ibu Lebih Dominan?

Yang juga menarik dari studi ini adalah temuan bahwa pola asuh dari ibu tampaknya punya pengaruh yang lebih kuat dibanding ayah. Ketika ibu bersikap acuh, kasar, atau terlalu mengontrol, dampaknya terhadap kepribadian anak—khususnya dalam menurunkan conscientiousness—lebih konsisten dan signifikan.

Dampak Sosial yang Lebih Luas

Meski efeknya terlihat “pribadi”, dampak dari pola asuh buruk ini sebenarnya juga menyentuh dimensi sosial yang lebih luas. Individu dengan gangguan fungsi lebih rentan mengalami pengangguran, masalah kesehatan, hingga keterlibatan dalam sistem hukum. Artinya, pola asuh yang buruk bukan hanya jadi masalah keluarga, tapi juga jadi beban bagi masyarakat secara keseluruhan—dari biaya kesehatan mental hingga sistem kesejahteraan. Menurut para peneliti, menginvestasikan sumber daya pada edukasi pengasuhan yang sehat bisa jadi salah satu cara paling strategis untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan fungsional. Edukasi ini bisa mencegah terjadinya luka psikologis yang merusak potensi generasi mendatang.

Ingat, Ini Baru Langkah Awal

Meski temuan ini menjanjikan, penelitian ini juga memiliki keterbatasan. Karena datanya dikumpulkan dalam satu waktu (cross-sectional), belum bisa dipastikan apakah pola asuh memang menyebabkan rendahnya conscientiousness, atau hanya berkorelasi. Selain itu, data yang digunakan berdasarkan ingatan partisipan terhadap masa kecil mereka, yang bisa saja dipengaruhi emosi saat ini.

Namun demikian, penelitian ini membuka jendela baru dalam memahami bagaimana masa kecil membentuk kepribadian dan fungsi dewasa. Ke depan, peneliti ingin mencari tahu apa saja faktor yang bisa “melindungi” seseorang dari efek jangka panjang pola asuh yang buruk. Apakah hubungan sosial yang kuat, strategi coping yang sehat, atau terapi tertentu bisa membantu? Kita tunggu kelanjutannya.

Pesan yang bisa kita ambil?  

Menjadi orang tua bukan hanya soal memberi makan dan pakaian, tapi juga bagaimana membentuk masa depan anak lewat kasih sayang dan pengasuhan yang sehat. Dan bagi yang pernah mengalami masa kecil yang sulit, mengenali akar permasalahan bisa menjadi langkah awal untuk pulih dan berkembang.

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.