Ditulis Oleh: Biasdini Murtisa, S.Psi.,M.Psi.,Psikolog.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu perlakuan buruk di tempat kerja makin banyak dibicarakan. Salah satu bentuk paling serius dari masalah ini adalah perundungan di tempat kerja yang ditandai dengan tindakan negatif yang terus-menerus dilakukan oleh atasan atau rekan kerja kepada seseorang, hingga orang tersebut merasa tidak berdaya. Perilaku tidak menyenangkan di tempat kerja tidak selalu terlihat jelas, terkadang muncul dalam bentuk yang halus seperti komentar sinis, lelucon yang menyakitkan, atau perlakuan yang membuat seseorang merasa dikucilkan. Meski terlihat ringan, jika dibiarkan terus-menerus, tindakan-tindakan ini dapat berdampak besar dan berkembang menjadi perundungan yang lebih parah. Secara umum, perundungan di tempat kerja meliputi berbagai perilaku negatif seperti sikap tidak sopan, pelecehan, kekerasan emosional, pengawasan yang abusif, tuduhan tak berdasar, pengucilan, perundungan massal (mobbing), penyebaran rumor, pelecehan seksual, verbal dan fisik, hingga upaya merusak reputasi sosial rekan kerja (Nielsen & Einarsen, 2018).

Survei yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada tahun 2022, melibatkan 1175 karyawan Indonesia dengan masa kerja minimal dua tahun, menunjukkan hasil yang mengejutkan: 70,81% responden pernah mengalami kekerasan dan pelecehan, 72,77% pernah menjadi saksi kejadian tersebut, dan 53,36% pernah menjadi korban sekaligus saksi. Lebih dari itu, sekitar 69,35% korban mengalami lebih dari satu jenis kekerasan atau pelecehan di tempat kerja. Data ini juga mengungkap bahwa 77,40% karyawan mengalami kekerasan psikologis, yang berujung pada gangguan kesehatan mental dan keinginan mereka untuk keluar dari pekerjaan. Sayangnya, saat ini mekanisme anti kekerasan dan pelecehan di banyak perusahaan masih sangat terbatas, bahkan 34,53% responden mengatakan tidak ada mekanisme sama sekali di tempat kerja mereka.

Perundungan ini tidak hanya berdampak langsung pada kondisi fisik, tapi juga kesehatan mental korban, seperti gangguan tidur, depresi, hingga gangguan stres pascatrauma (Nielsen & Einarsen, 2012). Penelitian oleh Asghar dan Zulfiqar (2025) terhadap 300 karyawan menunjukkan adanya hubungan kuat antara perundungan di tempat kerja, kelelahan kerja (burnout), dan keinginan untuk berhenti dari pekerjaan (turnover intention). Baik perundungan maupun kelelahan kerja dapat memprediksi niat karyawan untuk meninggalkan pekerjaannya. Bahkan, perundungan sering dianggap sebagai pengalaman traumatis yang bisa menimbulkan tekanan psikologis signifikan, meskipun berlangsung dalam waktu singkat (Rodríguez-Muñoz dkk, 2020). Oleh karena itu, penting untuk melakukan upaya pencegahan dan intervensi secara serius.

Sebuah studi metaanalisis oleh Rodríguez-Muñoz, Díaz-Guerra, dkk (2025) yang mengkaji 20 penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan secara umum berhasil menurunkan tingkat perundungan di tempat kerja. Metode seperti latihan kognitif (cognitive rehearsal), program edukasi, dan pelatihan dukungan untuk atasan terbukti efektif meredam perilaku bullying. Namun, pengaruh intervensi ini masih terbatas, yang menunjukkan bahwa efektivitasnya perlu ditingkatkan. Salah satu penyebab rendahnya efektivitas ini adalah kurangnya keragaman dalam isi intervensi. Banyak intervensi justru lebih fokus pada individu atau kelompok kecil, sementara akar masalah seringkali berasal dari faktor sistemik dan budaya organisasi yang toksik. Hal ini menjadi paradoks karena solusi yang diberikan seringkali berupa dukungan individual, seperti program edukasi atau pelatihan manajemen stres, tanpa menyentuh struktur yang mendukung keberlangsungan perundungan. Ketidaksesuaian ini berpotensi menghambat efektivitas intervensi secara signifikan. Oleh sebab itu, agar perubahan yang terjadi lebih berarti dan berkelanjutan, intervensi perlu diperluas untuk menyasar faktor organisasi yang mendasari perundungan, bukan hanya aspek individu.

Intervensi di tempat kerja biasanya bertujuan memperbaiki kondisi agar karyawan lebih sehat dan sejahtera (Nielsen & Randall, 2013). Dalam konteks perundungan, intervensi bisa diarahkan untuk mengubah lingkungan kerja secara keseluruhan, fokus pada individu, atau gabungan keduanya (Salanova et al., 2019). Intervensi ini biasanya dibagi berdasarkan tujuannya:

  • Primer, yang berupaya mencegah perundungan sejak awal;
  • Sekunder, untuk menghentikan perilaku perundungan yang sudah mulai muncul;
  • Tersier, yang fokus membantu korban agar bisa pulih dan kembali berfungsi dengan baik (Zapf & Einarsen, 2020).

Beberapa strategi pencegahan primer yang sering dianjurkan antara lain melakukan perancangan ulang lingkungan kerja, menerapkan sistem penyelesaian konflik yang efektif, memberikan  pelatihan  kepemimpinan,  menetapkan  kebijakan  atau  kode  etik anti-perundungan, serta meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif perundungan. Namun, jika pencegahan ini tidak berhasil dan perundungan sudah terjadi, intervensi sekunder biasanya diterapkan. Berbeda dengan intervensi primer yang umumnya didukung oleh penelitian akademik, intervensi sekunder lebih banyak berdasarkan pengalaman praktis para konsultan. Intervensi sekunder bisa dilakukan dengan pendekatan informal, seperti berbicara langsung dengan pelaku, menyelesaikan masalah secara internal di dalam tim, melakukan mediasi, atau bahkan memindahkan salah satu pihak untuk meredakan konflik. Selain itu, ada juga pendekatan formal, seperti penyelidikan resmi oleh bagian HR, memberikan peringatan tertulis, mencabut jabatan, hingga pemecatan pelaku. Terakhir, intervensi tersier difokuskan pada proses pemulihan korban perundungan. Biasanya ini dilakukan lewat konseling atau rehabilitasi yang diselenggarakan oleh pihak luar organisasi. Dari sisi organisasi, langkah nyata yang bisa diambil adalah menjalin kerjasama dengan layanan kesehatan kerja atau merujuk korban ke layanan tersebut untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (Salin, D., Cowan, R. , dkk, (2020).

Dengan penerapan intervensi tersebut, organisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif, meningkatkan kesejahteraan karyawan, dan mendongkrak produktivitas secara keseluruhan. Pendekatan komprehensif yang menangani baik faktor individu maupun sistemik adalah kunci utama. Selanjutnya, evaluasi dan penyesuaian strategi intervensi secara berkala sangat diperlukan agar tetap efektif sesuai dengan dinamika kerja, gaya kepemimpinan, dan budaya perusahaan. Dengan pendekatan yang aktif dan berbasis bukti, organisasi tidak hanya dapat mengurangi dampak negatif dari perundungan, tetapi juga mendorong terciptanya budaya kerja yang inklusif, penuh rasa hormat, dan mendukung kesejahteraan seluruh pekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Asghar, S., & Zulfiqar, N. (2025). Workplace bullying and turnover intention among industrial employees: Job burnout as a mediator. International Journal of Organizational Analysis. Advance online publication. https://doi.org/10.1108/IJOA-01-2025-5144.

International Labour Organization. (2022). 10 important findings: Survey on violence and harassment in     the world of work in Indonesia 2022. https://www.ilo.org/publications/10-important-findings-survey-violence-and-harassment-worl d-work-indonesia.

Nielsen, K., & Randall, R. (2013). Opening the black box: A framework for evaluating organizational-level occupational health interventions. European Journal of Work and Organizational Psychology, 22(5), 601–617. https://doi.org/10.1080/1359432X.2012.690556.

Nielsen, M. B., & Einarsen, S. V. (2018). What we know, what we do not know, and what we should and could have known about workplace bullying: An overview of the literature and agenda for future research. Aggression and Violent Behavior, 42, 71–83. https://doi.org/10.1016/j.avb.2018.06.007.

Rodríguez-Muñoz, A., Antino, M., Ruiz-Zorrilla, P., Sanz-Vergel, A. I., & Bakker, A. B. (2020). Short-term trajectories of workplace bullying and its impact on strain: A latent class growth modeling approach. Journal of Occupational Health Psychology, 25(5), 345–356. https://doi. org/10.1037/ocp0000232.

Rodríguez-Muñoz, A., Díaz-Guerra, A., Antino, M., Duran, W. F., & Sánchez, I. (2025). Interventions against bullying at work: A meta-analysis. Work & Stress, 39(1), 1–30. https://doi.org/10.1080/02678373.2024.2435677.

Salanova, M., Llorens, S., & Martínez, I. (2019). Organizaciones saludables: Una mirada desde la Psicología Positiva. Aranzadi, Thomson Reuters.

Salin, D., Cowan, R. L., Adewumi, O., Apospori, E., Bochantin, J., D’Cruz, P., Djurkovic, N., Durniat, K., Escartín, J., Guo, J., Işik, I., Koeszegi, S. T., McCormack, D., Monserrat, S. I., Olivas-Luján, M. R., & Zedlacher, E. (2020). Prevention of and interventions in workplace bullying: A global study of human resource professionals’ reflections on preferred action. The International Journal of Human Resource Management, 31(20), 2622–2644. https://doi.org/10.1080/09585192.2018.1460857.

Zapf, D., & Einarsen, S. V. (2020). Individual antecedents of bullying: Personality, motives and competencies of victims and perpetrators. In S. V. Einarsen, H. Hoel, D. Zapf, & C. L. Cooper (Eds.), Bullying and harassment in the workplace: Theory, research, and practice (pp. 269–304). CRC Press.

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.