Politik, Pemilihan Presiden, dan Polarisasi Publik di Era Pasca Kebenaran

 

 

Tahun 2019 disebut tahun politik karena April nanti akan ada pilpres dan pileg. Tapi bisa juga pandangan tahun politik itu kita anggap sebagai hoaks saja. Mengapa? Sebab, sejatinya tahun 2019 ini menjelma menjadi tahun binatang. Ya, binatang. Lebih tepatnya, dua jenis binatang: cebong dan kampret.

 

Kontestasi politik di negeri ini telah menjadi kian sengit hingga menimbulkan polarisasi yang tajam di masyarakat. Muncul dua kubu: pendukung petahana Presiden Joko Widodo dan pengusung Prabowo Subianto yang eks Pangkostrad berbintang tiga itu.

 

Persaingan politik yang seharusnya penuh adu gagasan dan program itu kenyataannya, kini, menjadi ajang saling nyacat dan hujat. Antar kontestan, juga (dan ini bahaya) antar pendukung. Jika di elit ada selisih pendapat yg terkadang sarat rasa permusuhan maka di level akar rumput ini berpotensi menjadi konflik horizontal.

 

Suasana ibarat Perang Badar ini diperparah kenyataan baku argumen antar dua kubu ini kian langka mengedepankan fakta dan-atau data sahih. Sementara informasi bagi publik dari ajang politik ini sudah bak tsunami yang tak terbendung lagi. Tsunami informasi yg sayangnya didominasi info kebohongan dan setengah bohong, bahkan fitnah.

 

Pada konteks politik nasional kita sekarang ini, kehadiran tsunami kebohongan ini amat berbahaya. Pasalnya, masyarakat dipaksa menelan begitu banyak ketidakbenaran alias hoaks yg sudah kerkelindan dg rasa emosi dan permusuhan yg begitu tinggi. Tidaklah sulit untuk menyulut tindakan kekerasan di tingkat akar rumput. Apalagi kalau pemantik atau pemicunya adalah politik identitas atau isyu agama.

 

Apabila melihat arah dan intensitas proses polarisasi yg kini bergulir, sangat boleh jadi usai pilpres masyarakat tetap akan berada dalam kondisi retak atau bahkan terbelah-belah. Sementara elit politiknya sudah balik “ngupi-ngupi cantik” (karena pilpres/pileg bagi mereka tidak pernah personal alias di masukkan ke hati) boleh jadi kalangan akar rumput di bawah sana masih saling bacok-bacokan. Siapa bilang rekonsiliasi mudah. Di level atas proses itu bisa elok; di bawah pasti berdarah-darah.

 

Membaca potensi situasi seperti itu adakah yang bisa dilakukan kalangan psikologi di Indonesia? Adakah bagian dari disiplin ilmu psikologi yg mampu menguraikan rangkaian panjang proses di atas lalu menjelaskan apa sebenarnya yg sedang terjadi? Lantas, dari segi ilmunya, dapatkah psikologi memberi semacam solusi terhadap problema itu jika kondisinya di masyarakat sampai separah itu? Bagaimana pula tautannya dengan ilmu-ilmu lain yg juga punya concerned terhadap fenoma sebagaimana digambarkan di atas yg pastinya mengkhawatirkan itu?

 

Guna mencari jawaban-jawaban terhadap rangkain persoalan di atas, yg tampaknya akan terus menghantui Indonesia tak saja dalam musim pilpres ini tetapi setiap kali digelar pemilihan serupa di waktu yg akan datang, Himpsi Jaya berniat menggelar DT (diskusi terbatas) mengenai isyu “Politik, Pemilihan Presiden, dan Polarisasi Publik di Era Pasca Kebenaran.”

 

Diskusi ini akan menghadirkan 20an orang yg terdiri dari ilmuwan psikologi maupun ilmuwan dari disiplin ilmu lain yg terkait dg bidang psikologi, pelaku politik yg memiliki latar belakang pendidikan psikologi atau ilmu-ilmu sosial lain yg relevan, dan tokoh publik yg memiliki pengalaman langsung dalam hal-hal terkait dinamika masyarakat sebagaimana telah diuraikan di atas.

 

Dari 20an undangan tsb ada 7-8 peserta diskusi yg diposisikan sebagai pelontar gagasan atau tesis sesuai latar belakang keilmuan atau pengalamannya. Lontaran gagasan tsb untuk memacu perbincangan sekaligus menjadi panduan arah diskusi bagi peserta lainnya. Dengan begitu diskusi ini kiranya masuk jenis focussed group discussion bercorak symposium interview.

 

Hasil dari diskusi terbatas akan dipaparkan dalam sebuah laporan yang menguraikan prosiding berdasarkan isyu-isyu utama apa saja yang diangkat dan bagaimana peserta menanggapi masing-masing isyu. Dengan pola ini diharapkan berbagai pertanyaan pokok yg menjadi dasar terselenggaranya diskusi dapat terjawab. Kalaupun tak tuntas minimal cukup untuk mencegah efek-efek paling buruk berbagai fenomena sosial yg telah dipaparkan tadi.

 

-28 Februari 2019-

 

 

 

Pembicara

 

 

Prof. Hana Panggabean

Profesor Psikologi Industri & Organisasi Unika Atma Jaya, meraih gelar Doktor phil. dari Universitas Regensburg, Jerman. Mendalami Psikologi lintas budaya.

 

Abdul Malik Gismar

Associate Director, Paramadina Graduate School. Psikolog lulusan UI, Meraih Doktor dari New York School for Social Research, NY, USA.

 

Ade Armando

Pakar komunikasi dan pengajar di FISIPOL UI. Saat ini Direktur Komunikasi Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dan aktif dalam Koalisi Reformasi Siaran

 

Pamungkas Trishadiatmoko

Wakil Ketua Umum BPP, Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS). Saat ini juga aktif sebagai praktisimedia

 

Ledia Hanifa

Politisi PKS yang kini menjadi anggota DPR-RI periode kedua. Lulusan UI ini mendalami bidang pemberdayaan perempuan lewat gerakan dakwah Islam.

 

Dan dalam undangan khusus, kami mengundang: Ir Rully Chairul Azwar Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI.

 

 

Acara ditayangkan live pada 28 Februari 2019 lalu  dan bisa dilihat di Youtube:

 

-Aud-

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.