PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS Aplikasi psikologi dalam dunia penerbangan merupakan suatu bidang tersendiri yang membutuhkan pemahaman tentang topik-topik psikologi, seperti; persepsi dan perhatian, berpikir, psikofisiologis, industri/organisasi, psikologi sosial, pendidikan dan klinis yang diterapkan dalam dunia penerbangan.

Seperti dikemukakan oleh Roscoe (1980), psikologi penerbangan adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia dalam operasi sistem penerbangan. Sejalan dengan batasan tersebut, peran psikologi dalam sistem penerbangan berhubungan dengan bagaimana konsep-konsep dan teori-teori psikologi dapat mendukung, dan menambah informasi mengenai perilaku manusia dalam operasi penerbangan itu terjadi atau mungkin dilakukan (Donald dan Johnston, 1994).

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS

Dalam mengulas topik psikologi dalam konteks yang luas seperti di lingkungan penerbangan, studi psikologi penerbangan masuk dalam lingkup kajian human factors.  Terutama hal ini penting dalam menelaah keselamatan penerbangan, termasuk upaya pencegahan kecelakaan sampai dengan penyelidikan kecelakaan penerbangan.

Khususnya dalam tulisan di sini akan diungkap aspek-aspek psikologi dalam perspektif human factors untuk mengulas sebab-sebab potensial terjadinya kecelakaan penerbangan dalam rangka pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya incident dan accident.

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS : Manusia Dalam Sistem Operasi Penerbangan

Dalam organisasi kerja awak pesawat, penerbang dan awak lainnya sangat erat kaitannya dengan sistem kerja mesin (sistem pesawat udara).  Dalam menjalankan tugasnya mereka sering dianalogikan sebagai suatu mata rantai sistem operasional mesin yang “identik” dengan sub-sistem mesin.

Sebagai sub-sistem, awak pesawat harus dapat bekerja layaknya mesin yang efisien, efektif, dan terpelihara kualifikasinya.  Kondisi ini tentunya memberikan konsekuensi pada keseluruhan sistem organisasi kerja yang dipersyaratkan bagi penerbang atau individu-individu yang bekerja di lingkungan penerbangan.

Mereka dituntut ability atau kemampuan untuk menangani tugas-tugasnya.  Ada kualifikasi profesi yang dipersyaratkan bagi individu penerbang yang melaksanakan tugas penerbangan, dan kualifikasi ini hanya dapat diperoleh melalui seleksi yang ketat, pendidikan serta latihan terprogram yang kadang membutuhkan waktu relatif lama serta dilakukan dengan intensif.  Untuk mendapatkan kompetensi yang unggul kadang membutuhkan pengalaman tugas cukup panjang selama masa penerapan profesinya.

Salah satu tuntutan atau persyaratan di samping tuntutan kemampuan dan keterampilan, juga sangat ditekankan penguasaan prosedur kerja baku atau standard operation procedure (SOP) sesuai jenis pesawat yang diawaki.

standard operation procedure (SOP)

Dalam melaksanakan tugasnya, walaupun mereka diyakini sudah menguasai prosedur yang harus dijalankan, mereka tetap dilengkapi checklist prosedur tindakan yang harus diikuti dengan penuh disiplin.  Bahkan penguasaan terhadap prosedur ini harus diuji secara periodik oleh pihak otoritas agar tetap memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan.

Tidak dapat dielakkan bahwa untuk mengoperasikan pesawat udara dengan segala peralatan dan sistem pendukungnya, dibutuhkan individu yang memiliki keterampilan tinggi disamping kemampuan dan kemauannya dalam mematuhi prosedur kerja dengan penuh disiplin.

Agar individu atau manusia dalam sistem penerbangan dapat berfungsi layaknya sub-sistem mesin dengan berbagai tuntutan seperti telah diulas di atas, maka tak dapat dielakan bahwa hal ini mempersyaratkan sistem organisasi dan sistem manajemen yang efisien dan efektif.  Hal ini penting agar sistem dapat bekerja optimal untuk memfasilitasi berjalannya fungsi-fungsi sub-sistem di dalamnya.

Kelemahan dan kegagalan dari salah satu sub-sistem dapat berdampak buruk pada berfungsinya sistem secara keseluruhan.  Tak dapat dielakan pula bahwa secara teoritik manusia merupakan sub-sistem yang paling sensisitif terhadap pengaruh yang dapat berdampak pada kegagalan performance.

Bila kegagalan tersebut terjadi pada penerbang (sebagai salah satu sub-sistem) maka tentunya incident atau kecelakaan penerbangan tidak dapat dihindari.

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS : Model Reason dan Analisis Sebab-sebab Kecelakaan Penerbangan.

James Reason, seorang psikolog yang mendalami studi human factors pada akhir 1980-an mengungkapkan idenya mengenai human error yang kemudian menjadi rujukan dalam memahami keselamatan penerbangan.

Model Reason yang dikenal dengan “Swiss Cheese Model” dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari bentuk pendekatan human factors sebelumnya sebagai respon terhadap faktor penyebab kecelakaan penerbangan yang semata-mata berorientasi pada kinerja penerbang secara individual.

Reason secara cerdas mengembangkan konsep tentang faktor penyebab kecelakaan penerbangan yang semata-mata pada kegagalan kinerja penerbang secara individual ke arah kinerja tim (crew performance) dan kinerja organisasi (organizational performance) dalam kerangka sistem.

Didukung oleh ahli-ahli International Civil Aviation Organisation (ICAO) ia memperkenalkan paradigma pendekatan sistem terhadap safety yang membedakan active failures (kegagalan aktif) dengan latent failures (kegagalan laten) dalam analisis penyebab terjadinya insiden dan kecelakaan penerbangan.

Dalam menyelidiki faktor penyebab kecelakaan, active failures berkaitan dengan kesalahan operator, dalam hal ini penerbang atau petugas ATC ataupun pihak-pihak pelaksana di lapangan.

Sedangkan latent failures merupakan kondisi yang mempengaruhi bagaimana kinerja operator saat melaksanakan tugasnya, atau bagaimana pengaruh kemampuan sistem untuk mengatasi perilaku atau situasi yang tidak diharapkan.

Latent failures

Latent failures ini dapat berupa kegagalan struktur dari sistem atau tidak berfungsinya sistem, dan kegagalan ini dapat muncul jauh sebelum terjadinya kecelakaan.  Latent failures yang berhubungan dengan lingkungan yang terkait langsung di mana active failure terjadi dikenal sebagai preconditions for unsafe acts.

Dari model Reason ini (lihat gambar 1), dapat dipelajari bahwa sebab-sebab kecelakaan dapat ditelusuri jauh sebelum kejadian, dan umumnya terjadi karena interaksi dari kelemahan-kelemahan sistem dan buruknya sistem deteksi serta kontrol.

Sebenarnya, kelemahan-kelemahan tersebut masih dapat dikendalikan atau dihambat bila defences atau safety net berfungsi optimal, namun seringkali buruknya komunikasi antar sub-sistem (departemen dalam struktur organisasi) atau tidak adekuatnya prosedur membuat sub-sistem pelindung terakhir tidak mampu menghambat terjadinya kecelakaan.

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS “Swiss Cheese” Model dari Reason (1990).

Local factors dan defences atau safety net yang tidak adekuat dapat dilihat dengan adanya lubang-lubang di tiap lapisan (seperti keju) yang menunjukan tidak adanya sistem pelindung safety (lihat gambar 1).

Kondisi ini dapat disebabkan oleh situasi kerja yang kurang kondusif, fatigue, menurunnya moril dan stres yang dialami penerbang atau awak pesawat ataupun isu-isu sistemik yang lebih luas, seperti komunikasi antar sub-sistem yang buruk (tidak ada koordinasi) atau prosedur-prosedur yang tidak adekuat.

Bila operasional pesawat udara melewati lubang-lubang yang tak terlindung, maka kecelakaan diperkirakan dapat terjadi.

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS : Aktivitas Psikologi dalam Perspektif Human Factors.

Pemahaman tentang kapabilitas dan keterbatasan (limitasi) manusia serta aplikasi pemahaman ini dalam situasi kerja adalah perhatian utama dari human factors.   Studi tentang human factors sejak setengah abad ini sudah berkembang ke aspek-aspek kognitif dari tugas-tugas penerbang.

Kecenderungan ini terus berkembang memasuki area studi yang lebih luas, antara lain;  upaya-upaya mengoptimalkan peran manusia di lingkungan kerja kompleks yang melibatkan semua aspek dari performance dan perilaku manusia, seperti;

  • pengambilan keputusan dan proses-proses kognitif lainnya.
  • desain display dan control serta layout
  • perangkat lunak komunikasi dan komputer, charts dan map-map, dokumen-dokumen manual operasi, checklist, dsb.
  • Termasuk juga pengetahuan yang menyangkut model dan strategi seleksi personel, pelatihan, monitoring, dan penyelidikan kecelakaan.

Seperti diketahui, manusia sebagai komponen sistem atau sub-sistem adalah komponen yang paling fleksibel, adaptable dan valuable dari sistem penerbangan, tapi juga yg paling sensitif terhadap pengaruh yang dapat berdampak pada performance.

Setidaknya berbagai publikasi tentang topik keselamatan penerbangan menunjukan 3 dari 4 kecelakaan penerbangan dalam satu periode disebabkan kurang optimalnya performance manusia, dan seringkali hal ini diistilahkan dengan ”pilot error”.

Sebenarnya penggunaan istilah ”pilot error” tidak membantu dari segi usaha pencegahan kecelakaan penerbangan.  Istilah ini sering kontraproduktif karena, walaupun ”pilot error” dapat memberi indikasi ”di mana” terjadinya kelemahan (breakdown) di dalam sistem, namun tidak dapat menjadi petunjuk ”mengapa” kecelakaan itu terjadi.

Roscoe (1980)

Roscoe (1980) mengungkapkan bila membatasi tanggung jawab hanya pada penerbang saja berarti membebaskan orang lain atau faktor lain yang mungkin terlibat. Karena, suatu kesalahan (error) dalam sistem penerbangan mungkin atau dapat saja disebabkan oleh kesalahan design atau karena pelatihannya yang tidak adekuat, atau karena rancangan prosedur atau konsep layout checklist dan manual yang buruk, dan/atau kegagalan manajemen.  Sehingga penggunaan istilah ”pilot error” cenderung akan membuat fakta-fakta pendukung terjadinya kecelakaan tetap tersembunyi yang sebenarnya bila dikenali lebih awal dapat mencegah terjadinya kecelakaan.

Pada dasarnya human factors esensinya menekankan perhatian pada unsur manusia di berbagai lapisan operasional penerbangan dari operator penerbang sampai dengan manusia di strata organisasional.  Human factors adalah aktivitas manusia dalam kehidupan maupun situasi kerja, tentang hubungan manusia dengan mesin, tentang hubungannya dengan prosedur dan lingkungannya serta aturan-aturan, serta mengenai hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Dalam hal ini aktivitas psikologi dalam perspektif human factors merupakan semua kegiatan yang terkait dengan pengetahuan terapan bersifat praktis dari teori-teori dan konsep-konsep psikologi yang menekankan pada optimasi hubungan antar manusia beserta aktivitasnya, dengan aplikasi sistemnya, yang terintegrasi dalam kerangka kerja ”system engineering”.  Sasarannya adalah efisiensi dan efektivitas sistem, termasuk keselamatan dan efisiensi, serta kesejahteraan (well being) individu.

PSIKOLOGI PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF HUMAN FACTORS : Kesimpulan

 Dari uraian di atas tentang psikologi penerbangan dalam mengupayakan keselamatan penerbangan, disimpulkan beberapa pemikiran, yaitu ;

  1. Dalam upaya mendukung keselamatan penerbangan termasuk memantau, mengendalikan, dan menyelidiki sebab-sebab terjadinya insiden dan kecelakaan, diperlukan pemahaman bahwa lingkungan operasional penerbangan harus dilihat sebagai suatu sistem.
  2. Faktor manusia marupakan elemen atau sub-sistem yang fleksibel dan adaptable, tetapi juga sekaligus paling sensitif terhadap pengaruh dari sub-sistem lain terhadap kegagalan performance.
  3. Human factors merupakan studi multidisiplin berbagai ilmu pengetahuan di mana teori-teori psikologi dimanfaatkan secara luas sejak dipelajarinya aspek-aspek potensi dan kompetensi, proses informasi, pengambilan keputusan sampai dengan psikologi organisasi.
  4. Pencegahan kecelakaan penerbangan harus terus menerus diupyakan karena sebelum suatu kecelakaan penerbangan terjadi. Diasumsikan secara teoritis akan mengikuti siklus terjadinya hazards, incident dan accident. Sehingga sistem pemantauan, deteksi, dan dokumentasi merupakan kewajiban operator dan awak pesawat untuk melaporkannya.
  5. Pada dasarnya terjadinya kecelakaan penerbangan dapat dideteksi jauh sebelum kejadian dengan memperhatikan berbagai kelemahan bersifat laten maupun aktif, bersifat organisasional maupun individual dalam kerangka sistemik.

 

Artikel sebelumnya membahas tentang: TINJAUAN PSIKOLOGI PERILAKU TERAMPIL PENERBANG

Ditulis Oleh: Widura Imam Mustopo

Ketua HIMPSI Jaya

 

Kepustakaan

Bond, N.A., Bryan, G.L., (1962).  Aviation Psychology. L.A.  :   Aviation and Missile Safety Division.

ICAO, (1989).  Human Factors Digest No 1 – Fundamental Human Factors Concepts. ICAO Circular 216-AN/131. Montreal : Secretary General of International Civil Aviation Organization.

Orasanu, J.M., (1994).  Shared Problem Models and Flight Performance. Dalam, Johnston, N., McDonald, N., dan Fuller, R.,(Eds).  Aviation Psychology in Practice.  Aldershot  : Avebury Technical Ashgate Publ. Ltd.

Peter G. Harle. 1994. Investigation of human factors: The link to accident prevention, in Neil Johnston, Nick McDonald and Ray Fuller (ed.), Aviation Psychology in Practice, Avebury Technical, England,

Sukmo G., (2004).  Psikologi Penerbangan Dalam Perspektif Human Factors.  Makalah pada Semiloka Psikologi Penerbangan di Dinas Psikologi TNI AU, tanggal 24-26 Agustus 2004.  Jakarta :  Dispsiau.

Widura IM., (2005).  Psikologi Dalam Mendukung Operasi Penerbangan.  Makalah pada Seminar Psikologi Militer di Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Yani, Cimahi.  Jakarta :  Dispsiau.

 

 

 

 

 

HIMPSI Jaya adalah Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta Raya. Merupakan organisasi yang menghimpun Psikolog, Ilmuwan Psikologi, dan Praktisi Psikologi yang berpraktik dan atau bekerja di wilayah DKI Jakarta.