HOGWARTS : A place where help is always given for whom needs it. Sistem Pendidikan Berbasis Kompetensi.
Siapa yang pernah menonton sekuel Harry Potter, pasti tahu apa itu Hogwarts. Hogwarts adalah sekolah sihir terkemuka di Inggris tempat Harry Potter menimba ilmunya.
Pengarang Harry Potter, Joanne Rowling (J.K. Rowling) memiliki daya imajinasi yang luar biasa. Sehingga ketika membaca atau menonton filmnya kita merasa seolah-olah Harry Potter dan Hogwarts memang benar-benar pernah ada.
Murid Hogwarts belajar dibawah bimbingan Kepala Sekolahnya, Albus Dumbledore yang kehebatan sihirnya tak ada tandingannya. Beliau juga disegani oleh Lord Voldemort yang merupakan tokoh utama penyihir jahat yang ilmunya juga sangat tinggi.
Disamping itu, Hogwarts juga memiliki guru-guru yang sangat mumpuni seperti Prof. Severus Snape, Prof. Minerva McGonagall, Madame Pomona Sprout, Prof. Remus Lupin, dsb.
Hogwarts memiliki sistem belajar yang menarik. Setiap ilmu sihir yang diajarkan di kelas selalu dipraktekkan langsung oleh murid-murid dengan contoh dari gurunya. Sehingga setiap murid yang lulus mengikuti suatu pelajaran dipastikan memahami konsep ilmu tersebut dan mampu menerapkannya.
Sistem Pendidikan Berbasis Kompetensi.
Sistem belajar yang diceritakan tersebut sebenarnya tidak lain merupakan sistem pendidikan berbasis kompetensi (competency-based learning). Sistem yang sekarang sedang marak dibicarakan.
CBL bukanlah suatu pendekatan yang mutakhir. Malah sebenarnya kalau boleh dibilang merupakan sistem belajar memiliki sejarah yang sangat panjang.
Secara metodis, CBL dimulai sejak awal abad 20 ketika teori belajar berkembang pesat di AS. Namun dilihat dari sisi perjalanan sejarahnya, CBL merupakan pengejawantahan tradisi pembelajaran sejak awal umat manusia mengenal institusi pendidikan.
Baik di Timur maupun Barat dimana guru mengajarkan ilmunya kepada para murid sekaligus teori dan prakteknya. Sistem yang ditutup dengan evaluasi/ujian untuk memastikan bahwa semua yang diajarkan tersebut dikuasai oleh setiap murid.
Atau dengan kata lain, dipastikan murid menguasai kompetensi ilmu tersebut.
Education in its general sense is a form of learning in which the knowledge, skills, values, beliefs and habitsof a group of people are transferred from one generation to the next through storytelling, discussion, teaching, training, or research. Education may also include informal transmission of such information from one human being to another. Education frequently takes place under the guidance of others, but learners may also educate themselves. Any experience that has a formative effect on the way one thinks, feels, or acts may be considered educational. [Wikipedia]
Saya tak hendak lebih jauh membahas mengenai teori dan konsep pendidikan. Cuma bikin pusing aja pagi-pagi, hehehe.
Tidak dapat apa-apa selama kuliah
Menyambung obrolan kemarin di WA group mengenai pendidikan di fakultas psikologi, khususnya Fakultas Psikologi UI yang tercinta itu, saya semakin menyadari seperti apa proses ajar-mengajar yang berlangsung sehingga para alumninya merasa “tidak mendapat apa-apa” selama kuliah.
Terus terang saja cara mendidik yang tidak membuahkan kompetensi yang nyata bagi para mahasiswa sudah terjadi sejak jaman saya kuliah dulu (30 tahun yang lalu booo…). Jadi bukannya berubah karena jaman, tetapi terjadi regenerasi ketidakpedulian selama berpuluh-puluh tahun.
Sebagian dari proses tersebut saya alami sendiri karena pernah 5 tahun ikut-ikutan ngajar di sana.
Bagaimana lulusannya bisa menguasai kompetensi dasar ilmu psikologi kalau yang diajarkan sebagian besar teori dan konsep yang bahkan si pengajar sendiri belum pernah menerapkannya di lapangan ?
Sementara berbagai kompetensi psikologi yang berkembang di luar tembok fakultas seringkali diremehkan. Meskipun terbukti lebih canggih, aplikatif dan bermanfaat besar bagi masyarakat. Hanya karena kompetensi tersebut tidak lahir di dalam tembok atau tidak dimiliki oleh staf pengajar di dalam.
Oleh karena itu sangat sangat aneh dan menggelikan kalau sampai sekarang masih banyak staf pengajar psikologi yang memandang sebelah mata pada kalangan praktisi psikologi (ilmu perilaku) yang berkiprah di luar fakultas.
Padahal output dari para akademisi ini tidak kunjung kelihatan hasil dan manfaatnya bagi masyarakat (selain sekedar diundang tv sana-sini untuk jadi narasumber doang).
Lebih aneh lagi ada sementara pihak yang berpendapat wajar bila antara kalangan akademisi dan praktisi berbeda domain.
Katanya, akademisi bertujuan untuk mengkaji dan mengembangkan teori dan konsep. Sedang praktisi bertujuan untuk menerapkan teori dan konsep tersebut di masyarakat.
Kalau pendapat ini diikuti, saya pikir tidak perlu ada fakultas psikologi di Indonesia. Karena teori atau konsep bertebaran dimana-mana. Tidak perlu harus menjadi dosen kalau hanya untuk mengkaji teori/konsep.
Sebaliknya, praktisi yang benar tidak akan mungkin mampu membuat terapan bila tidak paham betul teori/konsep yang mendasarinya.
HOGWARTS : A place where help is always given for whom needs it.
Balik lagi ke Harry Potter, di Hogwarts semua gurunya adalah praktisi yang handal. Yang menguasai bidang ilmunya masing-masing dari A sampai Z.
Jujur saja banyak sekali praktisi yang menerapkan ilmu psikologi tanpa tahu atau mau tahu latar belakang teori/konsepnya secara benar. Hal ini sama keblingernya dengan akademisi yang merasa hebat hanya karena memahami teori. Teori yang seringkali bisa dibaca di buku oleh semua orang.
Artinya, menjadi seorang akademisi sesungguhnya harus pula berpengalaman sebagai praktisi, menguasai penerapan dari pengetahuan teori/konsep yang diajarkannya. Sebaliknya, seorang praktisi tidak bisa melakukan penerapan tanpa memahami latar belakang teori/konsepnya.
Konyol jadinya jika staf pengajar mengajarkan mahasiswanya pengetahuan-pengetahuan textbook. Pengetahuan yang bisa dibaca sendiri oleh siapapun tanpa tahu dan mengalami sendiri penerapannya seperti apa.
Kalau beberapa puluh tahun yang lalu, alumni UI punya keprihatinan terhadap almamaternya. Almamater yang dianggap arogan seperti menara gading, saat ini isunya sudah bergeser lebih jauh lagi. Selain sebagai menara gading, ditambah lagi kompetensinya tidak/kurang dapat diharapkan oleh masyarakat yang membutuhkannya.
Tidak seperti Hogwarts yang punya slogan,
‘tempat dimana pertolongan selalu diberikan terhadap siapapun yang membutuhkannya’.
Anyway, jangan merujuk pada Harry Potter & Hogwarts ya. Namanya juga film, banyak bohongnya, mana ada di dunia nyata guru-guru yang kompeten seperti itu.
Nggak mungkin ada kan?
Tapi saya akan selalu tetap berdoa. Semoga para staf pengajar/akademisi di Fakultas Psikologi UI menyadari bahwa mereka sangat sedikit memberikan kontribusi yang berarti kepada bangsa ini. Bukan karena ilmunya yang tidak bermanfaat. Akan tetapi karena individu-individunya tidak kapabel dalam memegang ilmu yang menurut istilah saya merupakan telur emas ini.
Kalau sudah sadar, mudah-mudahan dapat membawa kebaikan bagi pengembangan mutu pendidikan yang berujung pada kontribusi yang optimal kepada semua orang.
Mari kita berdoa ………………….….. Amiin.
Maaf, jangan ada yang tersinggung ya, ini merupakan artikel untuk HimpsiJaya.org pemikiran ini juga merupakan otokritik saya kok.
Have a lovely & productive morning everyone.
PsyLine.id Psikologi Online Indonesia.